Sabtu, 09 Mei 2020

Sindroma Kompartemen di bidang Orthopedi


Hampir semua ahli bedah ortopedi menemukan sindroma kompartemen akut (acute compartment syndrome/ACS) dalam praktek klinis mereka. Diagnosis ACS sebagian besar bergantung pada temuan klinis. Bila diagnosis terlewatkan dan tidak ditangani dapat menyebabkan konsekuensi serius yang membahayakan anggota badan dan hidup pasien serta juga resiko bagi dokter untuk menghadapi tuntutan hukum. Artikel ulasan ini menyoroti karakteristik ACS yang akan membantu ahli bedah ortopedi untuk memahami patofisiologi, riwayat penyakit, pasien risiko tinggi, diagnosis, dan pengelolaan operasi dari kondisi tersebut.

1. Pendahuluan
Hampir semua ahli bedah ortopedi pernah menemukan sindrom kompartemen akut (ACS) dalam praktek klinis mereka. Dr. Volkmann, seorang dokter Jerman pada tahun 1881, menjelaskan ACS dengan melaporkan kontraktur tangan yang merupakan konsekuensi dari kondisi ACS tersebut[1]. Pada tahun 1888, Petersen untuk pertama kalinya melaporkan pengelolaan ACS [2]. Sindrom kompartemen sebagian besar didiagnosis dengan temuan berbagai variasi gejala klinis dan tanda-tanda dalam berbagai pemeriksaan. Jika diagnosis ini terlewat dan tidak dikelola, dapat menyebabkan kerusakan serius pada jaringan lunak dari ekstremitas meliputi otot, saraf, dan pembuluh. Kadang-kadang dapat mengakibatkan hilangnya anggota badan atau bahkan kematian. Seorang ahli bedah ortopedi harus memiliki pemahaman tentang kondisi ini, termasuk cedera tertentu dan kelompok pasien tertentu yang lebih rentan untuk mengalami ACS. Seorang ahli bedah harus memahami dasar-dasar dari sindrom kompartemen yang meliputi patofisiologi, epidemiologi, diagnosis, dan pengelolaan ACS [3]. 


2. Patofisiologi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai kondisi di mana tekanan kompartemen yang tertutup meningkat sedemikian hingga mikrosirkulasi dari jaringan di kompartemen mengalami penurunan [4]. 
Dua faktor ditemukan bertanggung jawab untuk masalah ini, yakni penurunan volume kompartemen atau peningkatan isi kompartemen, atau terkadang kedua faktor ini muncul pada saat yang sama. ACS terjadi ketika tekanan intra-kompartmen (ICP) melebihi tekanan kapiler vena. Peningkatan ICP mengakibatkan peningkatan tekanan pada ujung kapiler vena dan juga menghasilkan peningkatan tekanan hidrostatik, yang mengarah ke kompresi arteriol [5]. Mikrosirkulasi terganggu karena kompresi arteriol, sehingga mengurangi atau menekan perfusi jaringan. Perfusi dan oksigenasi inadekuat berakibat pada iskemia jaringan lunak dan anoksia serta kematian sel. Jaringan yang paling rentan mengalami iskemik dalam kompartemen adalah otot rangka [6]. Luas kematian otot tergantung pada durasi iskemia, suhu jaringan, dan mikrosirkulasi residual yang tersedia. Pasokan darah kolateral yang memadai dan suhu lokal yang lebih rendah memperlambat proses iskemik [7]. Rorabeck dan Clarke menunjukkan bahwa durasi peningkatan tekanan signifikan dalam pemulihan fungsi neurologis. Tekanan 40 sampai 80 mm Hg yang menetap selama 4 jam tidak menyebabkan disfungsi saraf permanen, namun, bila terjadi selama 12 jam atau lebih, perubahan neurologis permanen akan terjadi [8]. Kesimpulannya, jumlah nekrosis otot rangka berbanding lurus dengan lamanya iskemia dan berbanding terbalik dengan suhu. 

3. Epidemiologi
Sindroma kompartemen akut biasanya terjadi pada pasien trauma yang memiliki cedera lain yang mengakibatkan pengalihan perhatian seorang klinisi dari diagnosa ACS. Dalam pengelolaan pasien ini, dokter harus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi. Regio yang paling sering mengalami ACS adalah tungkai (leg) lalu diikuti dengan lengan bawah (forearm), lengan atas (arm), paha (thight), kaki (foot), daerah gluteal, tangan (hand), dan perut. 
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan kompartemen sindrom dan usia merupakan salah satu faktor yang penting. Pasien yang lebih muda lebih rentan untuk mengalami ACS dibandingkan dengan pasien usia lanjut dengan sifat trauma yang sama [9]. Faktor risiko lain adalah jenis dan lokasi cedera. Fraktur tibial shaft tertutup adalah penyebab paling umum dari sindrom kompartemen dan menjadi penyebab bagi sepertiga dari semua kasus ACS. Seperempat dari kasus adalah akibat dari trauma tumpul (blunt) dan crushing pada  jaringan lunak di ekstremitas, kemudian fraktur radius ulna shaft bertanggung jawab atas 20 persen dari kasus ACS. Cedera kaki dalam kecelakaan lalu lintas di jalan berkontribusi atas 6% dari semua kasus ACS [10],  dan insidensi ACS pada cedera tungkai bawah lebih sedikit lagi [11]. Revaskularisasi setelah cedera atau obstruksi arteri akut juga dapat mengakibatkan ACS; maka dalam kebanyakan kasus pasien perlu menjalani fasciotomi setelah revaskularisasi [12].
Laki-laki lebih rentan untuk mengalami ACS, dengan angka sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kejadian ACS pada fraktur terbuka dan tertutup adalah sama. Penyebab ACS traumatis lain yang lebih jarang meliputi luka bakar dan trauma tumpul atau crushing pada ekstremitas. ACS dapat muncul akibat pemosisian kaki yang buruk dalam suatu prosedur pembedahan yang lama, secara khusus posisi litotomi [13]. Latihan berlebihan oleh atlet atau aktivitas fisik yang tidak rutin atau berlebihan pada non-atlet juga dapat menyebabkan sindrom kompartemen akut (ACS) pada kaki yang membutuhkan perhatian medis yang mendesak [14]. Sindrom kompartemen akut juga dapat diperoleh dari penyebab non kecelakaan seperti kondisi medis yang meliputi sindrom nefrotik, myositis virus, hipotiroidisme, gangguan perdarahan, keganasan, dan diabetes mellitus [15]. Infark otot akibat diabetes (DMI) adalah kondisi pada penderita diabetes yang mengakibatkan sindrom kompartemen [16]. Ruptur kista Baker juga dilaporkan sebagai penyebab ACS, walau ini cukup jarang [17]. 

4. Diagnosis Klinis
Sindrom kompartemen sebagian besar didiagnosis secara klinis. Kurangnya pengetahuan dan pelatihan yang tidak memadai dapat menyebabkan diagnosis tertunda atau bahkan terlewat. Pemeriksaan harus dilakukan secara serial dengan banyak pengulangan pada beberapa titik waktu tertentu untuk membuat diagnosis definitif. Lebih baik lagi bila tersedia satu dokter bedah yang harus melakukan pemeriksaan secara serial dan membuat diagnosis. Jika tanda dan gejala dirasa samar-samar, maka lebih baik bila mengambil pendapat kedua dari rekan senior. Salah satu faktor prognostik paling penting untuk hasil adalah waktu kemunculan ACS hingga waktu diagnosis dan waktu tindakan bedah. 
Lima "P" yang disebutkan dalam literatur untuk sindrom kompartemen adalah
pain, paralysis, paresthesia, pallor, dan pulselessness (nyeri, paralisis, paresthesia, pucat, dan hilang pulsasi) [18]. Meskipun semua tanda-tanda klinis dan gejala klinis yang disebutkan adalah penting, kebanyakan tidak semua ditemukan dalam setiap kasus, dan pada kenyataannya adanya pulselessness menunjukkan bahwa ACS sudah terlambat untuk mencapai hasil pengelolaan yang baik. Gejala kardinal ACS pada pasien yang sadar adalah "rasa sakit luar biasa." Nyeri saat istirahat dan dengan peregangan pasif hampir selalu ditemukan dalam kemunculan ACS. Tetapi jika ACS sudah terjadi dan berada di stadium akhir, nyeri dapat menjadi temuan klinis yang sulit diperoleh karena reseptor nyeri dan serabut saraf telah mengalami nekrosis iskemik dan kematian. Selain itu, nyeri bisa tak ditemukan pada pasien dengan anestesi regional serta pada pasien ICU yang diberi sedasi dan relaksasi.
Tanda pertama dari iskemia saraf adalah parestesia yang diikuti oleh hipoestesia, anestesi, paresis, dan paralisis. Penilaian sensorik harus dilakukan dengan pengujian tusukan jarum, sentuhan ringan, dan diskriminasi dua titik pada pasien yang terjaga. Defisit motorik di anggota badan yang terkena dapat disebabkan oleh iskemia saraf dan / atau otot atau akibat rasa sakit. Paralisis komplit ditemukan pada akhir tahap sindrom kompartemen dan menunjukkan kerusakan permanen pada saraf dan / atau otot. 
Pulselessness pada ACS juga merupakan temuan akhir. Pada ACS, tekanan dalam kompartemen biasanya tidak cukup tinggi untuk mengkompresi arteri. Hilangnya pulsasi dan adanya tungkai yang pucat bisa menjadi indikasi cedera arteri langsung. Pengisian kapiler sebagian besar tetap ada bahkan pada ACS yang berkembang dengan baik jika tidak ada cedera arteri langsung. 
Satu-satunya tanda klinis ACS yang akan muncul bisa jadi bengkak yang masif pada ekstremitas dengan kompartemen yang keras. Pada pasien tidak sadar sebagian besar temuan klinis tidak dapat diperoleh; karena itu perlu untuk memeriksa tekanan kompartemen dengan perangkat. 

5. Pemantauan Tekanan Intrakompartemen            
Berbagai teknik dan perangkat untuk pengukuran tekanan intracompartment (ICP) telah disebutkan dalam literatur. Pengukuran ICP untuk diagnosis ACS pada pasien terjaga adalah hal yang kontroversial. ICP hampir mencapai 8 mmHg pada orang dewasa saat beristirahat dan hampir dua kali lipat pada pediatri [19]. Berbagai teknik untuk mengukur ICP meliputi monitor genggam untuk pembacaan tekanan tunggal, jarum Stryker dengan Portal sisi, dan jarum biasa dengan setup jalur arteri. Jika peralatan yang lebih canggih tidak tersedia, tekanan kompartemen dapat diukur dengan menggunakan tabung infus, three-way stopcock, jarum spuit, dan manometer merkuri, seperti yang dijelaskan oleh Whitesides et al. [20] 









(Gambar 1). Penyiapan manual untuk pengukuran tekanan intracompartmental (Campbell Operative Orthopaedics, Edisi ke-11).



Boody dan Wongworawat membandingkan tiga perangkat yang biasa digunakan untuk mengukur tekanan kompartemen yang meliputi Stryker Intracompartmental Pressure Monitor System 


Gambar 2: Perangkat digital Stryker.


manometer jalur arteri, dan peralatan Whitesides (Gambar 3). Boody et al. melaporkan bahwa manometer jalur arteri adalah manometer yang paling akurat lalu diikuti oleh perangkat Stryker dan penggunaan jarum portal sisi yang memberi hasil yang lebih baik daripada jarum lurus. 

Gambar 3: Synthes (West Chester, PA) pemantau tekanan kompartemen genggam.

Tekanan kompartemen ditemukan berbeda di berbagai lokasi dalam kompartemen terkait dengan lokasi cedera; maka ada hubungan antara ICP dan jarak dari situs fraktur. Heckman et al. mengemukakan bahwa tekanan harus diukur di berbagai situs di seluruh kompartemen kecuali dalam jarak 5 cm dari situs fraktur [21]. 
Berbagai penulis menyebutkan nilai yang berbeda untuk tekanan kompartemen yang dianggap sebagai ambang batas untuk fasciotomi dekompresif bedah. Matsen et al. menggunakan nilai absolut sebesar 45 mmHg untuk diagnosis ACS dan indikasi untuk fasciotomi lalu 30 mmHg digunakan oleh Mubarak et al. [22, 23]. McQueen dan Court-Brown mengemukakan bahwa jika perbedaan antara tekanan darah diastolik dan ICP adalah kurang dari 30 mm Hg, itu sangat mencurigakan untuk adanya ACS dan harus didekompresi [24]. Gelberman et al. juga menganjurkan fasciotomi kompartemen untuk tekanan kompartemen yang lebih besar dari 30 mm Hg [25]. Penulis lain telah merekomendasikan fasciotomi untuk tekanan yang lebih besar dari 40 mmHg atau nilai delta sebesar 40 mmHg (perbedaan antara tekanan arteri rata-rata dan tekanan kompartemen) [26]. Menegakkan diagnosis hanya dengan pengukuran pada pasien sadar dapat menyebabkan operasi yang tidak perlu [27]. McQueen et al. melaporkan sensitivitas dalam studi retrospektif sebesar 93% untuk pemantauan ICP pada suspek ACS dengan estimasi spesifisitas 98%, estimasi nilai prediksi positif dari 93%, dan estimasi nilai prediksi negatif sebesar 99% [28]. Sementara Whitney et al. menyebutkan angka positif palsu 35% untuk diagnosis ACS pada pasien dengan fraktur tibial shaft yang menjalani pengukuran ICP satu waktu di bawah anestesi sebelum fiksasi fraktur tibialis, pada kenyataannya klinisnya tidak memiliki bukti klinis sindrom kompartemen sebelum dan pasca operasi serta fasciotomi tidak dilakukan [29]. Literatur mendukung pemantauan ICP terus menerus bukan pengukuran satu waktu untuk menetapkan diagnosis ACS.
Pasien yang tidak terjaga dan sadar atau yang telah diberikan blok regional untuk anestesi atau analgesia pasca operasi harus diperhatikan lebih hati-hati karena tanda-tanda dan gejala klinis tidak dapat diperoleh [30]. Dokter harus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi untuk diagnosis ACS pada pasien tersebut dan tidak boleh terjadi keterlambatan dalam pemantauan dan pengukuran ICP dengan perangkat yang tersedia. 

6. Spektroskopi Inframerah                                                                                
Sebuah teknik baru yang disebut sebagai spektroskopi inframerah jarak dekat (near infrared spectroscopy/NIRS) adalah teknik non-invasif dan berkesinambungan. Teknik ini didasarkan pada penyerapan cahaya di dekat spektrum inframerah yang sesuai dengan hemoglobin teroksigenasi dan terdeoksigenasi. Penilaian oksigenasi jaringan dilakukan dengan membandingkan konsentrasi oksihemoglobin dan deoxyhaemoglobin dalam darah vena. Garr et al. menunjukkan sebuah hubungan terbalik antara tekanan kompartemen dan oksigenasi pada hewan model [32]. 

7. Pemantauan pH Intracompartment
Selain fitur klinis dan pengukuran ICP, Elliot menjelaskan peran monitoring pH intramuskular (IM) dalam diagnosis ACS. Dia melaporkan spesifitas tinggi dalam mengukur pH IM yang ditemukan mencapai 80% dengan pH kurang dari 6,38 sedangkan spesifitas dalam pemantauan ICP adalah 27% hingga 30%. Dia merekomendasikan bahwa pasien dengan ACS dapat diidentifikasi lebih awal dan lebih akurat menggunakan pemantauan pH IM dan kemudian mengurangi morbiditas terkait dengan ACS [33]. 

8. Fasciotomi
Setelah diagnosis ACS ditegakkan, maka fasciotomi dekompresif bedah harus dilakukan segera, tetapi teknik bedah yang baik adalah hal yang wajib diperhatikan. Setelah keputusan untuk fasciotomi dibuat, pengaturan ruang operasi harus dipercepat. Sementara itu, menjaga kaki tetap tinggi perlu dilakukan untuk meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan pembengkakan. Semua balutan harus dilonggarkan atau dilepas jika memungkinkan. Kirim sampel darah untuk pemeriksaan awal dan serta pengelompokan dan skrining untuk kemungkinan transfusi pada periode pasca operasi. 
Ada berbagai teknik fasciotomi kaki dalam literatur, yang meliputi fasciotomi satu sayatan dengan fibulectomy, fasciotomi sayatan tunggal tanpa fibulectomy, dan yang paling umum adalah pendekatan fasciotomi bedah dua sayatan dengan sayatan anterolateral dan posteromedial. 


Gambar 4: Potongan melintang melalui kaki menunjukkan lokasi sayatan fasciotomi untuk dekompresi pada ke-empat kompartemen [31].















Dalam teknik dua sayatan, sayatan anterolateral dibuat hingga mendekati kompartemen anterior dan lateral. Ini terletak di tengah-tengah antara tibial crest dan fibular head (Gambar 4). Sayatan dimulai 5 cm distal fibular head dan diperluas sampai 5 cm proksimal malleolus lateral. Fasia dari kompartemen anterior dan kompartemen lateral seharusnya terbebaskan melalui sayatan ini. Ahli bedah harus berhati-hati tentang saraf peroneal superfisial yang muncul di sekitar 10-12 cm proksimal lateral maleolus ketika mengeksisi fascia. Pendekatan ini bisa mengekspos periosteum dari maleolus lateral dan tendon peroneal. Kondisi otot-otot harus dinilai setelah fasciotomi. Warna pink / merah pada otot dan adanya kontraksi pada stimulus merupakan indikasi dari otot yang viabel. Semua otot nonviabel harus dieksisi. Tendon, periosteum, dan otot-otot yang terkena harus tetap lembab untuk menghindari pengeringan jaringan dan mencegah infeksi [31]. Sayatan kedua adalah sayatan posteromedial yang dibuat 2 cm posterior hingga perbatasan medial tibia. Sayatan ini digunakan untuk membebaskan kompartemen posterior superfisial dan profunda, dan untuk menilai viabilitas otot-otot di kompartemen ini. Insersio soleus harus dibebaskan untuk dekompresi kompartemen posterior yang memadai. Ahli bedah harus mencoba untuk menghindari perusakan saraf dan vena saphena saat melakukan prosedur ini. 

Teknik insisi tunggal berhasil dilakukan oleh mereka yang berpengalaman tetapi kurang populer (Gambar 5). Maheshwari et al. melaporkan hasil yang sangat baik dalam seri kasus mereka yang terdiri dari 58 kaki yang menjalani fasciotomi satu sayatan. Sebuah sayatan memanjang dibuat di atas fibula hingga 5 cm distal fibular head dan 5 cm proksimal malleolus lateral. Melalui pendekatan ini, kompartemen anterior, lateral dan posterior superfisial terbebaskan dahulu dan kemudian diikuti oleh pembebasan pada kompartemen posterior profunda di situs insersio fibula posterolateral pada septum intermuskularis lateral. Pendekatan ini berisiko mencederai saraf dan pembuluh peroneal ketika masuk ke kompartemen posterior profunda. Dokter bedah harus menginsisi septum intermuskularis lateral pada insersio fibula-nya.
Meskipun fibulectomy melalui sayatan lateral tunggal dianggap teknik yang populer untuk fasciotomi empat kompartemen kaki, sekarang digantikan oleh fasciotomi dua sayatan karena morbiditas yang lebih rendah [35]. 
Lokasi umum kedua untuk mengalami sindrom kompartemen adalah lengan. Ada empat kompartemen di lengan: volar, punggung, Mobile wad of Henry, dan pronator kuadratus [36]. Kompartemen lengan tidak benar-benar independen satu sama lain seperti di kaki. Oleh karena itu kompartemen tunggal tidak perlu ditangani secara individual. Kompartemen volar paling sering terlibat dan perlu dekompresi. Berbagai pola sayatan telah dijelaskan dalam literatur, termasuk insisi berbentuk lazy S dan kurva. Sayatan harus di aspek ulnar pada pergelangan tangan untuk menghindari mengekspos arteri radial dan saraf median yang dangkal pada pergelangan tangan. Sayatan volar harus selalu menyertakan palmar proksimal untuk melepaskan ligamentum karpal transversus terowongan karpal (Gambar 6). 











Gambar 6: Sayatan volar berbentuk S pada palmar proksimal untuk dekompresi carpal tunnel.

Setelah membebaskan fleksor digitorum superfisialis, otot-otot volar dalam seperti fleksor digitorum profundus, pronator kuadratus, dan fleksor karpi ulnaris juga harus didekompresi. Setelah rilis/pembebasan kompartemen volar, tekanan kompartemen dorsal dan kompartemen mobile wad harus diukur. Kebanyakan dekompresi kompartemen volar juga akan membebaskan tekanan di kompartemen ekstensor. Untuk membebaskan kompartemen dorsal, sayatan memanjang dibuat yang meluas dari 4 cm distal ke lateral epikondilus hingga tuberkulum Lister [37]. 
Untuk sindrom kompartemen kalkanealis terisolasi di mana saraf dan pembuluh plantaris dikompresi, sayatan plantar tunggal harus dibuat dari sisi medial tumit dan kaki. Pendekatan ini dimulai dengan sayatan di sisi plantar metatarsal pertama. Abdukotor halusis yang merupakan otot di kompartemen medial harus dibagi secara longitudinal. Luka dapat ditutup dengan delayed primary closure atau sembuh dengan secondary intention. Mubarak dan Owen menjelaskan pendekatan dorsal untuk rilis kompartemen interosseus yang merupakan kompartemen yang paling terkena dampak pada ACS kaki. Pendekatan ini terdiri dari dua sayatan dorsal di atas metatarsal kedua dan keempat, menjaga kemungkinan memperoleh skin bridge terlebar untuk menghindari nekrosis skin flap [38] (Gambar 7). 









Gambar 7: Potongan anatomi bagian kaki depan. Pendekatan dorsal dilakukan menggunakan satu atau dua sayatan memanjang. Ini memudahkan akses ke kompartemen interosseus dan adduktor. MT = metatarsal; M = medial kompartemen; A = kompartemen adduktor; S = kompartemen superfisial; L = kompartemen lateralis.

Pendekatan dorsal ini membantu dalam mengakses semua kompartemen dan memberikan paparan yang memadai untuk fiksasi fraktur. Dokter bedah harus berhati-hati terhadap vena dan saraf superfisial. 
Fasciotomi bukan prosedur jinak karena dapat merusak fungsi pompa otot betis secara jangka panjang pada pasien dengan dan tanpa cedera vaskuler. Pasien-pasien tersebut dapat mengalami insufisiensi vena kronis setelah trauma dan fasciotomi [39]. 

9. Pengelolaan Luka setelah Tindakan
Meskipun fasciotomi adalah prosedur untuk menyelamatkan anggota tubuh, tindakan ini dapat membawa morbiditas yang signifikan. Sayatan fasciotomi dapat menyebabkan luka besar, tak enak dilihat, dan kronis. Pada 48 sampai 72 jam setelah fasciotomi, pasien harus dibawa kembali ke ruang ooperasi untuk pemantauan ulang dan debridement jaringan nonviable. Jika tidak ada jaringan nekrotik sisa, kulit ditutup secara longgar. Jika penutupan lengkap tidak memungkinkan, kemudian metode assisted closure harus diterapkan. 
Sebuah metode assisted closure populer untuk luka fasciotomi adalah negative pressure wound therapy (NPWT) [40]. Balutan NPWT adalah sistem tertutup dimana vakum menggunakan tekanan subatmosferik untuk luka melalui balutan foam berpori, mengurangi tekanan ekstravaskular dan edema dalam kompartemen, sehingga muncul perbaikan sirkulasi, granulasi, dan aproksimasi tepi luka, serta kolonisasi bakteri yang berkurang [41]. NPWT mengurangi risiko infeksi tapi akan kemungkinan skin graft akan lebih tinggi [42]. 
Penutupan luka dinamis menggunakan teknik loop vaskular atau teknik shoelace juga telah dijelaskan sebagai pilihan pengelolaan yang layak (Gambar 8). Metode ini memerlukan pendekatan tepi luka menggunakan loop vaskular yang ditahan dengan skin staples dan secara bertahap melakukan tensioning di tepi luka [43]. Metode ini membantu untuk menghindari pencangkokan kulit.












Gambar 8: Dynamic wound closure menggunakan vessel loop atau teknik shoelace.

10. Aspek Medikolegal
Terdapat aspek medikolegal yang signifikan pada ACS dan keluarannya pada praktek klinis. Bhattacharyya dan Vrahas meninjau semua kasus dan klaim terkait ACS yang diajukan ke perusahaan asuransi besar selama periode 23-tahun. Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% diputuskan melawan dokter [44]. Shadgan et al. melaporkan lima puluh lima persen (35/64) kasus hukum diselesaikan diputuskan mendukung pasien [45]. 
Reverte et al. menyebutkan insidensi yang cukup tinggi untuk delayed union atau nonunion pada fraktur tibial shaft dengan sindrom kompartemen. Mereka melaporkan 55% nonunion atau delayed union pada ACS dibandingkan 17,8% pada fraktur tanpa ACS dalam studi meta-analisis. Sangatlah dianjurkan untuk menginformasikan pasien tentang peningkatan kemungkinan komplikasi dalam penyembuhan fraktur [46]. 

11. Kesimpulan
ACS adalah salah satu dari sedikit keadaan darurat ortopedi yang dapat menyebabkan keluaran yang memberi ancaman terhadap ekstremitas dan kehidupan jika ada keterlambatan dalam diagnosis dan pengelolaan. Semua dokter yang terlibat dalam menangani keadaan darurat tersebut harus sangat waspada dan harus menerapkan ambang rendah untuk fasciotomi. 

Konflik Kepentingan
Para penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan mengenai publikasi makalah ini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar