PENDAHULUAN
Rabies adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus rabies merupakan penyakit hewan yang bersifat zoonosis dan dapat
ditularkan kepada manusia. Lebih dari 55.000 kasus rabies pada manusia
dilaporkan setiap tahun di dunia. Data di negara lain contohnya Amerika, hampir
5 juta warga Amerika yang digigit anjing setiap tahun, dan hampir 1 juta orang
yang memerlukan perhatian medis yang khusus. Kasus gigitan anjing melibatkan
individu-individu dari segala usia, namun kasus yang paling sering adalah di
antara usia 5-9 tahun.
Virus rabies dikeluarkan bersama air
liur hewan penular rabies. Binatang yang biasanya terinfeksi virus rabies ini
adalah anjing, kelelawar, kucing, monyet, rakun, ataupun serigala. Hewan yang
terinfeksi virus Rabies menularkan virus tersebut kepada manusia melalui
gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka. Virus Rabies menyerang
susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan kematian pada penderitanya.
Rabies telah ada di Indonesia sejak abad
ke-19 dan telah tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama
kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa
Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889,
kemudian rabiespada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang.
Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di
Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin
menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun
1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan
Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau
tahun 1975. Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke
wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores
tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun
2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau
Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009.
Gejala awal rabies tidak spesifik,
melibatkan sistem respirasi, sistem gastrointestinal, atau sistem saraf pusat.
Virus rabies dapat mencapai otak melalui saraf-saraf tepi. Semakin dekat letak
fokus infeksi virus rabies maka semakin cepat pula gejala pada sistem saraf
pusat yang muncul. Sedangkan pada tahap akhir pada penyakit ini dapat terjadi
komplit paralisis hingga koma dan kematian pada semua kasus, biasanya terjadi
akibat gagal nafas. Kematian dapat terjadi dalam 7 hari tanpa perawatan
intensif dan case fatality rate hampir 100% pada pasien yang tidak
divaksinasi dan tidak mencari pengobatan setelah kontak dengan binatang yang
terinfeksi. Masa inkubasi untuk rabies hanya beberapa minggu hingga beberapa
bulan saja.
Beberapa Negara endemik rabies meliputi
negara-negara di Amerika Tengah, Amerika Utara, Afrika, China, dan
negara-negara Asia Tenggara. Saat ini prevalensi penyakit rabies bertambah
terus, terutama di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini perlu menjadi perhatian
dan diperlukan strategi khusus dalam menanganinya. Beberapa bulan terakhir
mulai muncul kasus-kasus rabies di Bali yang menyebabkan beberapa orang
meninggal dunia. Tentunya hal ini sangat menarik perhatian karena sejak tahun
1999 Bali sudah dinyatakan bebas penyakit Rabies.
Oleh karena itu, penangganan dan pengelolaan
awal kasus gigitan anjing adalah sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi
yang fatal.
DEFINISI
Dog bite management
adalah pengelolaan dan penangganan kasus gigitan anjing. Tindakan-tindakan awal
yang dilakukan saat menemukan pasien gigitan anjing adalah sangat penting untuk
mencegah komplikasi lanjut. Tindakan-tindakan yang lazimnya dilakukan adalah
irigasi bagian luka, debridement, eksplorasi, tindakan profilaksis dengan
pemberian antibiotika, pemberian anti-tetanus dan pemberian anti-rabies. Penting untuk melakukan penanganan
awal pada kasus gigtan hewan agresif yang bisa menginfeksikan virus rabies
kepada manusia. Di mana pada kasus-kasus gigitan hewan tersebut dapat terjadi
cedera yang ekstensif sehingga memerlukan kerjasama bedah plastik dan bedah
syaraf untuk penangganan khusus rekonstruksi.
EPIDEMIOLOGI
Di negara Amerika, hampir 5 juta warga
Amerika yang digigit anjing setiap tahun, dan hampir 1 juta orang yang
memerlukan perhatian medis yang khusus. Kasus gigitan anjing melibatkan
individu-individu dari segala usia, namun kasus yang paling sering adalah di
antara usia 5-9 tahun. Lebih dari 30.000 korban gigitan anjing harus menjalani
operasi rekonstruksi dan 15 – 20 meninggal akibat gigitan anjing setiap tahun.
Di Bali, belum ada konsensus data-data
yang dapat mendukung jumlah kasus gigitan anjing. Namun, sejak akhir-akhir ini
kasus rabies yang dianggap sudah dieradikasi muncul, semula di daerah bali ini
dan menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Hal ini memerlukan perhatian
khusus sehingga memerlukan strategi pengelolaan kasus gigitan anjing.
Diperkirakan terdapat 55.000 kematian pada manusia tiap tahunnya karena rabies
di seluruh dunia, dengan jumlah sekitar 31.000 di Asia, dan 24.000 di Afrika.
India dilaporkan memiliki jumlah tertinggi di seluruh dunia, yang utamanya
ditularkan oleh anjing. Pada tahun 2007 Vietnam memiliki rata-rata tertinggi
kedua, lalu disusul Thailand di posisi ketiga dengan sebagian besar terjadi
akibat gigitan anjing yang terinfeksi.
Rabies sangat jarang ditemukan di USA diluar
negara-negara bagian utara. Tapi pada tahun 2006, rakun-rakun di Atlantik
Tengah dan di Barat Laut USA mulai mendapat epidemik rabies sejak tahun 1970,
yang kemudian meluas hingga Ohio.
PATOFISIOLOGI
Gigitan anjing biasanya menyebabkan luka
tipe menghancurkan dan luka tusukan yang dalam karena giginya yang bulat dan
rahangnya yang kuat. Anjing yang keras mengayunkan kepalanya dari sisi ke sisi
saat gigitan dapat menyebabkan luka laserasi yang meluas dan berpotensi fatal
sekiranya terjadi ruptur arteri. Seekor anjing dewasa dapat menghasilkan 200 pounds
per square inch (psi) tekanan ke atas gigitannya. Namun, sempat tercatat
gigitan dari beberapa species anjing dewasa sebanyak 450 psi tekanan yang
berpotensi menghancurkan. Tekanan yang ekstrim seperti itu dapat merusak
struktur yang lebih dalam seperti tulang, pembuluh, urat, otot, dan saraf.
Gigitan anjing pada bahagian tangan pada umumnya memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya infeksi. Ini adalah karena pasokan darah yang relatif miskin pada
kebanykkan daerah di tangan dan pertimbangan anatomis yang menyebabkan proses
pembersihan luka menjadi sulit.
Secara umumnya, semakin baik suplai darah dan
semakin mudah membersihkan luka gigitan maka semakin rendah resiko terjadinya
infeksi. Gigitan anjing yang besar paling sering melibatkan luka pada bahagian
lengan dan kaki pada orang dewasa dan wajah serta kulit kepala pada
anak-anak.
FAKTOR RISIKO
Dalam 70% kasus gigitan anjing, orang
digigit oleh anjing peliharaan mereka sendiri atau anjing yang sering kontak
dengan mereka. Antara sepertiga dan setengah dari semua kasus gigitan anjing
terjadi pada anak-anak. Anak-anak di bawah umur 5 tahun mempunyai kemungkinan
yang lebih tinggi untuk digigit oleh anjing dan yang paling berisiko untuk
terjadinya cedera yang serius. Ini terjadi karena anak pada umur itu sering
melakukan aktivitas yang dapat memprovokasi anjing-anjing terutamanya anjing
liar. Beberapa species anjing yang sangat agresif dan berhubungkait dalam
serangan yang sering berakibat fatal yaitu anjing pitt bull, malamutes, chows,
rottweiler, huskies, gembala german dan hibrida serigala. Dari tahun 1978-1988,
dicatatkan sebanyak 41 persen kematian yang disebabkan oleh gigitan anjing pitt
bull. Lelaki sering dilaporkan sebagai korban gigitan anjing yang paling
banyak. Mayoritas kasus gigitan anjing paling banyak dilaporkan terjadi pada
waktu siang dimana cuaca adalah panas.
KOMPLIKASI.
1.
Infeksi
Masalah utama pada kasus gigitan anjing
adalah sekiranya terjadi infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh macam-macam
kelompok patogen (bakteri, virus, rikettsia, spirochetes, dan jamur).
Setidaknya terdapat 64 jenis bakteria yang umunya dapat kita temukan pada
mulut anjing yang dapat menybabkan pelbagai jenis infeksi pada manusia.3,4
Species
- species bakteria
|
· Spesies
Staphylococcus
· Streptococcus
species Spesies Streptococcus
· Eikenella
species Eikenella spesies
· Pasteurella
species Pasteurella spesies
· Proteus
species Spesies Proteus
· Klebsiella
species Spesies Klebsiella
· Haemophilus
species Spesies Haemophilus
· Enterobacter
species Enterobacter spesies
· DF-2 or
Capnocytophaga canimorsus DF-2 atau canimorsus Capnocytophaga
· Bacteroides
species Bacteroides spesies
· Moraxella
species Moraxella spesies
· Corynebacterium
species Corynebacterium spesies
· Neisseria
species Spesies Neisseria
· Fusobacterium
species Fusobacterium spesies
· Prevotella
species Prevotella spesies
· Porphyromonas
species Porphyromonas spesies
|
Infeksi lokal dan sellulitis adalah penyebab
utama morbiditas, manakala sepsis adalah komplikasi lanjut dari luka gigitan
anjing yang tidak terawat baik. Sepsis C- canimorsus sering terjadi pada
individu yang immunocompromised. Infeksi pada kasus gigitan anjing
biasanya disebabkan bakteri yang polymicrobial dan sering merupakan
campuran bakteria anaerob dan aerob.
Diabetes
mellitus
Edema
kronis pada ekstremitas
Penyakit
kronis
Pasien
yang immunosuppresif
Dysfungsi
hati
Pasien
dengan systemic lupus erytematousu
|
2.
Kerusakkan Jaringan
Gigitan anjing dapat menyebabkan
terjadinya cedera tisu dan jaringan yang kadang-kadang sangat ekstensif.
Gigitan anjing pada anak-anak sering melibatkan daerah muka dan kepala sehingga
dapat menyebabkan kerusakkan pada jaringan (disfigurement). Gigitan
anjing dapat menyebabkan luka tusuk yang dalam ataupun kadang-kadang luka
laserasi yang luas. Gigitan anjing juga menyebabkan cedera arteri,
syaraf, otot, tendon dan kadang-kadang dapat menyebabkan pasien kehilangan
anggota badan. Cedera yang ekstensif memerlukan kerjasama bedah plastik dan
bedah syaraf untuk penangganan khusus rekonstruksi. 2,3,
3.
Tetanus
Pada kasus gigitan anjing yang tidak
ditanggani baik juga dapat menyebabkan tertularnya penyakit tetanus. Tetanus
dapat terjadi karena neurotoksin yang diproduksi oleh bakteria anaerobik clostridium
tetani. Gejala-gejala tetanus adalah demam, nyeri, parastesia di sekitar
luka, dan kejang. Kejang pada tetanus sifatnya adalah tonik. Selain itu, dapat
juga terjadi spasmus otot punggung, opistotonus dan trismus (Lock jaw). 9
4.
Rabies
Manusia tertular rabies melalui gigitan
hewan yang terinfeksi. Virus rabies terdapat dalam saliva, otak, atau jaringan
saraf binatang yang terinfeksi. 5,6 Anjing liar dan anjing
yang tidak mempunyai riwayat vaksinasi rabies adalah penyebab utama penyebaran
virus rabies. Virus rabies adalah suatu RNA virus dari keluarga Rhabdoviridae
(genus Lyssavirus) genom beruntai tunggal, tidak bersegmen dan berbentuk peluru
yang diselimuti selaput glikoprotein berbentuk tonjolan, berfungsi
sebagai antigen utama yang menginduksi dan mengikat penetral antibodi
virus, yang sangat penting untuk kekebalan.
Virus rabies bersifat sangat neurotropik,
dimana mereka menyebar melalui sistem saraf dan akhirnya menyerang sistem saraf
perifer dan menyebabkan infeksi akut. Virus rabies membelah diri dalam otot
atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada
sambungan neuromuskuler.
Setelah virus menempel pada
reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui
serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan
kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medula spinalis, virus
bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak.
Setelah melewati medula spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang dan
nukleus selebelaris batang otak selanjutnya virus akan menyebar ke sel purkinye
serebelum, diencefalons, basal ganglia dan akhirnya menuju korteks serebri,
penyebaran menuju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus yang
relatif tidak terinfeksi.
Gejala
klinis rabies pada manusia terbagi oleh beberapa stadium yaitu: 11
1.
Periode inkubasi ( 30- 90 hari )
2.
Gejala prodromal ( 2-10 hari )
3.
Gejala neurologi akut ( 2-7 hari )
4.
Koma atau kematian ( 0-14 hari )
Periode
inkubasi
Sangat
bervariasi dari 4 hari sampai beberapa tahun dan cenderung lebih singkat pada gigitan
di muka (± 35 hari) daripada gigitan di tungkai (± 52 hari) Ketika seseorang
pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat
terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8
minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah
ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya
kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60
hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan
waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin
dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus
rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat
ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik).
Fase
prodromal
Pada
stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal
berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit
kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual,
muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan
tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini,
dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. Setelah beberapa hari
akan timbul manifestasi gejala rabies galak ataupun gejala rabies paralitik,
tergantung medulla spinalis ataukah otak yang dominan terinfeksi.
Gejala
neurologi akut
Setelah
melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang
berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan
penyakit pada otak dan gejalanya, dan dapat dibedakan menjadi encephalitis
rabies atau rabies galak atau furious rabies dan paralitik rabies. Hal
itu dibedakan berdasarkan pada organ mana yang dominan terinfeksi, apakah otak
atau medula spinalis. Encefalitis rabies merupakan gejala yang paling sering
dijumpai pada penderita rabies. Penderita menunjukan episode hipereksitabilitas
yang mencerminkan gambaran infeksi otak, ditandai episode kebingungan,
halusinasi, agitasi dan tingkah laku yang agresif yang berlangsung dalam
beberapa menit dan diikuti oleh fase tenang. Gejala hipereksitabilitas terjadi
secara spontan atau diprovokasi oleh rangsangan sensorik. Sebagian besar
penderita menunjukan gejala hidrofobia dengan trias : spasme otot inspirasi,
laringospasme, dan ketakutan menelan. Hidrofobia dapat diprovokasi dengan minum
air, memberi air pada kulit penderita, bahkan melihat air, atau mendengar kata
air. Mekanisme hidrofobia yang diakibatkan oleh infeksi selektif yang
menginhibisi motor neuron pada nukleus ambigus di batang otak yang meningkatkan
peningkatan reflek pertahanan yang memproteksi saluran pernafasan.
Gejala
lain antara lain hiperestesia, bingung, halusinasi, kadang agresif tidak
terkendalikan. Perubahan tingkah laku diakibatkan oleh infeksi pada neuron di
area limbik. Hipersalivasi dan hiperlakrimasi yang diakibatkan oleh disfungsi
otonom, dimana terjadi rangsangan berlebihan pada sistem parasimpatis, dapat
terjadi lesi saraf kranialis terutama pada saraf kranialis III, VI, VII, IX, X,
XI, XII. Disfungsi otonom sebagai akibat terjadinya infeksi yang melibatkan
sistem otonom pusat dan jalur sistem otonom saraf medula spinalis atau ganglion
otonom. Rangsangan parasimpatis meningkatkan produksi saliva. Reflek yang
menyiksa dan tiba-tiba mengakibatkan terjadi spasme laringoparingeal, nyeri
tenggorok, dan nyeri dada yang merupakan episode bangkitan / kejang dimana leher
dan punggung mengalami ekstensi seperti epistotonus dan leher terangkat ke atas
yang diakhiri oleh henti jantung dan henti nafas.
Pada
rabies paralitik terdapat gejala kelumpuhan yang menonjol berupa paresis pada
keempat ekstrimitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang mirip terkadang
mirip suatu sindrom Gullain Barre. Kadang disertai hidrofobia dan spasme otot
laring pada fase terminal.
Koma
Tanpa
terapi suportif ⅓ pasien akan meninggal di hari pertama hidrofobia, ⅔
akan jatuh menjadi koma atau mengalami paralisis flaccid dan jarang ada
yang bertahan lebih dari 1 minggu tanpa perawatan intensif. 12
Komplikasi
lain-lain
Komplikasi
lain-lain yang dapat kita temukan pada kasus gigitan anjing adalah arthritis
septic, osteomielitis, peritonitis, endokarditis, tenosynovitis,
endolpthalmitis dan meningitis.
MANAJEMEN
Manajemen awal
Pertama sekali dilakukan adalah
memastikan pasien stabil, ini dilakukan dengan cara mengevaluasi status ABC (airway,
breathing, circulation). Setelah memastikan pasien secara medis stabil dan
vital signnya bagus, harus memulai mencatatkan anamnesa pasien yang lengkap(sacred
seven dan fundamental four). Informasi yang tepat seperti waktu dan lokasi
kejadian, apakah anjing tersebut diprovokasi, status imunisasi anjing dapat
membantu menentukan pasien yang berisiko infeksi. Selain itu, adalah penting
dilakukan anamnesa tentang status imunisasi tetanus pasien, pengobatan
sekarang, riwayat penyakit-penyakit penyerta dan status alergi pasien.
Setelah itu, dilakukan evaluasi fisik pasien
bagi mengetahui klasifikasi luka pada korban gigitan anjing, apakah jenis luka
tusuk, laserasi, abrasi atau avulsi serta evaluasi tingkat keparahan dari luka
tersebut. Hendaklah dievaluasi apakah terjadinya cedera pada tendon, pembuluh
darah, syaraf, tulang atau kerusakkan ligamen. Pemeriksaan motorik dan
neuromuskular yang lengkap haruslah dilakukan untk mengevaluasi fungsi motorik
pasien. Dan tidak lupa juga untuk mengevaluasi tanda-tanda infeksi (demam,
menggigil, nyeri tubuh, mual, muntah, kelemahan, nyeri, eritema, eksudat,
edema, panas, atau bau busuk yang berasal dari cedera).
Pemeriksaan tambahan
Meskipun
anemnesa dan pemeriksaan fisik adalah yang utama harus dikerjakan untuk
diagnosis dan manajemen dari luka gigitan anjing. Namun terdapat pemeriksaan
tambahan yang dapat kita kerjakan dalam menentukan rencana terapi selanjutnya.
Pemeriksaan radiologik dapat dikerjakan sekiranya curiga terjadi fraktur
tulang, adanya foreign body(benda asing), ataupun curiga terjadinya
infeksi. Dengan pemeriksaan radiologik maka kita evaluasi apakah terjadinya
fraktur tulang, ataupun gigitan anjing yang menembus kapsul sendi sehingga
terjadinya septik arthritis. Selain itu, mempertimbangan untuk evaluasi
vaskular jika ada kemungkinan cedera vaskular.
Pemeriksaan kultur dapat dikerjakan sekiranya curiga
terjadi infeksi. Pasteurella Multocida adalah organism yang paling virulent yang
bisa menyebabkan infeksi dalam 24 jam pasca gigitan. Tes lab yang lain
dikerjakan atas indikasi kondisi pasien, contohnya seandainya curiga terjadinya
sepsis maka tes darah lengkap dan kultur darah dapat dikerjakan. 1,2,3,7
Manajemen luka
Yang
pertama sekali kita haruslah mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau detergen selama 10-15 menit kemudian
diberikan antiseptik ( povidone-iodine, iodine tincture, aqueous iodine solution
atau alkohol/etanol ), tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Sekiranya
terjadi perdarahan yang ekstensif maka harus segera diberikan sebuah penekanan
dengan cara bandase untuk mengendalikan perdarahan. Sekiranya perdarahannya
dapat dekendalikan, maka langkah seterusnya adalah eksplorasi dan biasanya
dilakukan pada luka yang dalam atau luka tusukan. Eksplorasi dilakukan dengan
cara membius jaringan yang luka sehingga dapat melakukan irigasi dan biasanya
dilakukan pada luka terbuka. Irigasi dilakukan dengan cara mengairi luka dengan
larutan saline dan juga larutan antiseptik betadin dalam nisbah 2:1. Dengan
irigasi diharapkan dapat mengerluarkan debris atau kotoran dari luka dan juga
mengurangi insiden terjadinya infeksi. Cairan antiseptik povidone 1% didapatkan
lebih baik dipakai untuk irigasi luka atau gigitan terkontaminasi oleh karena
povidone 10% yang diencerkan menjadi 1% adalah germicidal tetapi tidak
merusakkan jaringan. Adalah penting untuk mengairi bahagian luka dengan larutan
saline sebanyak mungkin untuk mengerluarkan debris dan bakteria yang bahaya.
Sebuah penelitian mendapatkan bahwa dengan irigasi yang berlebihan secara
signifikan mengurangi tingkat infeksi lebih dari 50%.1,2,3,4
Debris haruslah dibersihkan dengan baik dari luka dengan
cara melakukan debridement. Namun tidak semua luka membutuhkan debridement,
hanya luka dengan jaringan yang rusak dan nekrotik yang harus dilakukan
debridement. Luka tusuk biasanya tidak perlu dilakukan debridement. Adalah
penting untuk melakukan debridement untuk memastikan penyembuhan jaringan di
sekitarnya dengan baik. 7
Setelah luka dibersihkan, keputusan haruslah dibuat
apakah luka itu harus dijahit. Biasanya luka pada daerah muka haruslah dijahit
dengan alasan kosmetik dan untuk mencegah terjadinya scar. Tetapi, pada
luka yang minimal dan luka yang lebih dari 24 jam dapat dibiarkan terbuka untuk
sembuh. Luka dengan risiko tinggi komplikasi dan infeksi( misalnya luka pada
tangan dan luka tusukan yang dalam) dapat dibiarkan terbuka dengan alasan
penyembuhannya. Luka pada daerah wajah atau leher yang ekstensif dan sulit
dikerjakan hendaklah dikonsulkan ke bedah plastik untuk penangganan
selanjutnya.1,13
Selain itu, haruslah dikonsul ke bahagian bedah
plastik atau bedah syaraf atau bedah ortopaedi untuk operasi rekonstruksi
sekiranya terjadi cedera jaringan yang ekstensif, ruptur arteri, tendon ,otot
atau terjadi komplikasi pada tulang.
Profilaksis antibiotika
Cuma sekitar 15 -20% kasus gigitan
anjing terjadinya infeksi. Cedera crush, luka tusukan dan luka pada
tangan lebih memungkinkan untuk terjadi infeksi dan sering memerlukan
profilaksis antibiotika. Antibiotika biasanya diresepkan pada situasi yang
berisiko tinggi contohnya pada cedera menghancurkan(crush injury),
cedera tangan, cedera genital, luka yang membutuhkan debridement dan luka yang
melibatkan sendi, tulang, ligamen atau tendon. Selain itu, profilaksis
antibiotika juga diberikan pada orang yang berisiko terjadinya infeksi
contohnya pasien diabetes, sirosis atau immunosuppresif. Antibiotika umumya
tidak diperlukan seandainya jika luka sudah terjadi lebih dari dua hari dan
tidak ada tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
Untuk kasus-kasus seperti itu, antibiotika
resistence beta-laktamase spektrum-luas yang sering dipakai. Tinjauan
sistematis pemeriksaan infeksi pada jaringan lunak mendapatkan bahwa
amoksisilin/ klavulanate menjadi antibiotika pilihan karena tingginya insiden
infeksi Pasteurella penisillin. Untuk pasien yang allergik terhadap penicillin,
doksisiklin menjadi pilihan alternatif. Namun, doksisiklin sebaiknya tidak
diberikan pada wanita hamil atau pada anak-anak muda kurang dari 8 tahun. Pada
wanita hamil bisa digantikan dengan antibiotika eritromisin. Alternatif lain
untuk populasi anak-anak adalah kombinasi klindamisin dan
trimetoprim-sulfametoksazol. Antibiotika profilaksis yang diberikan haruslah
diresep untuk 5 sampai 7 hari. Pasien dengan luka terinfeksi biasanya
membutuhkan antibiotika selama 10-14 hari.
Profilaksis anti-rabies
Di Amerika Serikat pasien setelah
paparan mendapatkan satu dosis human rabies immunoglobulin (HRIG) dan empat dosis vaksin
rabies selama periode 14 hari. Dosis Imunoglobulin tidak boleh melebihi 20 unit
per kg berat badan yang hanya diinfiltrasikan disekitar luka gigitan.
Pemberian imunisasi untuk mencegah
rabies dilakukan melalui dua cara : imunisasi sesudah terkontak (post-exposure prophylaxis) dan imunisasi
sebelum terkontak (pre-exposure prophylaxis). Terapi setelah
terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies)
saja atau dengan SAR. VAR saja bila gigitan pada luka yang tidak berbahaya
(jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan dan kaki. Pemberian VAR dengan SAR
bila luka berbahaya (jilatan/luka pada mukosa, luka pada muka, kepala, leher,
lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam/multipel).13
Pemberian VAR adalah sebagai
berikut : Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) sesudah digigit merupakan
vaksin kering beku berupa virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 38-1503-3 M
Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu hari I kunjungan/hari ke 0
diberikan dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan kiri. Hari ke 7
diberikan lagi 0,5 ml secara IM di deltoid, diulangi pada hari ke Bila hendak
diberikan bersama dengan SAR maka diulang lagi 0,5 ml pada hari ke 901.
Vaksinasi intramuskular diberikan di daerah deltoid bukan di daerah gluteus
karena dihubungkan dengan kondisi gluteus yang banyak mengandung lemak
dibandingkan otot sehingga injeksi vaksin gagal.
Sedangkan
cara pemberian SAR yang terdiri dari dua jenis antara lain
1.
Serum heterolog berasal dari serum kuda, dilakukan skin test
sebelum penyuntikan. Dilakukan infiltrasi pada luka sebanyak-
banyaknya sisanya disuntikkan secara IM dengan dosis 40
IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I
kunjungan/hari ke 0.
2.
Serum homolog dari serum darah manusia yang diinfiltrasi pada luka
sebanyak-banyaknya sisanya secara IM dengan dosis 40
IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I
kunjungan/hari ke 0.
Jika belum pernah mendapatkan imunisasi,
maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada
hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya
bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang
mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. Jika penderita pernah mendapatkan
vaksinasi, maka resiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan
harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
Profilaksis
tetanus
Selain itu, juga harus mempertimbangkan pemberian
tetanus. Setiap luka yang dalam dan luka tusukan biasanya bisa terkontaminasi
oleh spora tetannus, oleh itu adalah penting pemberian profilaksis tetanus
untuk manajemen pasien gigitan anjing. Pasien harus menerima tetanus toxoid
jika imunisasi terakhir diberikan lebih dari 5 tahun sebelumnya. Pasien yang
status imunisasi tetanusnya tidak diketahui dan yang menerima kurang dari tiga
kali imunisasi tetanus haruslah diberikan suntikan tetanus immunoglobulin
ataupun toksoid tetanus/difteria dan vaksin diberikan sesuai dengan umur
pasiennya.
Follow-up
Pasien
dan keluarga hendaklah dididik tentang perawatan luka di rumah. Untuk
mengurangi rasa nyeri atau bengkak, dapat dilakukan dengan menerapkan es pada
daerah gigitan dilakukan selama 15 minit setiap jam untuk 24 jam pertama.
Daerah gigitan anjing haruslah diimobilisasi untuk sementara supaya tidak memperparah
kondisi. Daerah luka dicuci dengan air dan sabun yang secukupnya dan jangan
merendam bahagian yang luka dalam air. Pasien hendaklah diedukasikan tentang
dosis dan pengambilan antibiotika sekiranya ada dan menganjurkan pasien untuk
menghabiskan semua obat antibiotika yang ada. Pasien juga haruslah disuruh
kembali ke rumah sakit sekiranya muncul gejala-gejala infeksi atau nyeri yang
semakin parah. Pasien hendaklah kontrol ke poli dalam 3 hari untuk rawat luka
dan buka jahitan sekiranya lukanya sudah kering. Pasien juga diedukasi tentang
pencegahan dari gigitan anjing.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
herese R.Ridzzo Jeniffer Leftner MSN FNP-BC, Margitt B Phd, 2008.
Clinical management of dog bite injuries. Available from
: http://www.clinicaladvisor.com/clinical-management-of-dog-bite-injuries/article/119815/ (Accesed
June 8th, 2010)
2. Alisia
Perkins MD, Struart Harris MD, 2009. E-medcine specialities animal bites.
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/768875-overview
(Accesed June 9th,2010)
3.
Benjamin C MD, Melissa Conrad MD, 2009. MedcineNet Dog Bite Treatments.
Available from : http://www.medicinenet.com/dog_bite_treatment/article.htm.
(Accesed June 9th,2010)
4.
American Family Physicians, 2001. Treatments of Dog Bites. Available from
: http://www.aafp.org/afp/2001/0415/p1567.html.
(Accesed June 10th, 2010)
5.
Danielly. 2009. Travel Clinic Matraville. Available from : www.vaccinations.com.
(Accesed June 11th, 2010)
6.
Wikipedia. 2009. Rabies. Available from : http://id.wikipedia.org
(Accesed June 12th, 2010)
7.
Jeniffer Broom, Marion L Woods, 2006. Managemet of Bite Injuries. (
Available from : http://www.australianprescriber.com/magazine/29/1/6/8/.
( Accesed June 12th , 2010).
8.
Danielly. 2009. Travel Clinic Matraville. Available from : www.vaccinations.com.
(Accesed June 1st, 2010)
9.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2006. Buku Pedoman Standar
Pelayanan Medis dan Standar Pelayanan Operasional
Neurologi. Jakarta : PERDOSSI.
10.
Siswono. 2006. IPB Kembangkan Vaksin Rabies Baru [online]. Available from :
http://www.gizi.net. (Acessed: June, 4th 2010)
http://www.gizi.net. (Acessed: June, 4th 2010)
11.
Jackson, Alan. 2007. In : Rabies. Charon Tec Ltd, Chennal, India : 1-634.
12.
Shakir RA. 1996. Rabies. In : Tropical Neurology. WB Saunders Company
LTD,
Philadelphia : 52-71.
http://www.patient.co.uk/doctor/Bites-Human-and-Animal.htm(Accesed
June 12th,2010.)
info bagus
BalasHapus