Minggu, 12 Oktober 2014

Gigitan Anjing - Rabies


PENDAHULUAN
Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh virus rabies merupakan penyakit hewan yang bersifat zoonosis dan dapat ditularkan kepada manusia. Lebih dari 55.000 kasus rabies pada manusia dilaporkan setiap tahun di dunia. Data di negara lain contohnya Amerika, hampir 5 juta warga Amerika yang digigit anjing setiap tahun, dan hampir 1 juta orang yang memerlukan perhatian medis yang khusus. Kasus gigitan anjing melibatkan individu-individu dari segala usia, namun kasus yang paling sering adalah di antara usia 5-9 tahun.
Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan penular rabies. Binatang yang biasanya terinfeksi virus rabies ini adalah anjing, kelelawar, kucing, monyet, rakun, ataupun serigala. Hewan yang terinfeksi virus Rabies menularkan virus tersebut kepada manusia melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka. Virus Rabies menyerang susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan kematian pada penderitanya.
Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar di sebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabiespada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953, Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun 1975. Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali  dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009.
 Gejala awal rabies tidak spesifik, melibatkan sistem respirasi, sistem gastrointestinal, atau sistem saraf pusat. Virus rabies dapat mencapai otak melalui saraf-saraf tepi. Semakin dekat letak fokus infeksi virus rabies maka semakin cepat pula gejala pada sistem saraf pusat yang muncul. Sedangkan pada tahap akhir pada penyakit ini dapat terjadi komplit paralisis hingga koma dan kematian pada semua kasus, biasanya terjadi akibat gagal nafas. Kematian dapat terjadi dalam 7 hari tanpa perawatan intensif dan case fatality rate hampir 100% pada pasien yang tidak divaksinasi dan tidak mencari pengobatan setelah kontak dengan binatang yang terinfeksi. Masa inkubasi untuk rabies hanya beberapa minggu hingga beberapa bulan saja.
Beberapa Negara endemik rabies meliputi negara-negara di Amerika Tengah, Amerika Utara, Afrika, China, dan negara-negara Asia Tenggara. Saat ini prevalensi penyakit rabies bertambah terus, terutama di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini perlu menjadi perhatian dan diperlukan strategi khusus dalam menanganinya. Beberapa bulan terakhir mulai muncul kasus-kasus rabies di Bali yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Tentunya hal ini sangat menarik perhatian karena sejak tahun 1999 Bali sudah dinyatakan bebas penyakit Rabies. 
            Oleh karena itu, penangganan dan pengelolaan awal kasus gigitan anjing adalah sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi-komplikasi yang fatal.

DEFINISI
Dog bite management adalah pengelolaan dan penangganan kasus gigitan anjing. Tindakan-tindakan awal yang dilakukan saat menemukan pasien gigitan anjing adalah sangat penting untuk mencegah komplikasi lanjut. Tindakan-tindakan yang lazimnya dilakukan adalah irigasi bagian luka, debridement, eksplorasi, tindakan profilaksis dengan pemberian antibiotika, pemberian anti-tetanus dan pemberian anti-rabies. Penting untuk melakukan penanganan awal pada kasus gigtan hewan agresif yang bisa menginfeksikan virus rabies kepada manusia. Di mana pada kasus-kasus gigitan hewan tersebut dapat terjadi cedera yang ekstensif sehingga memerlukan kerjasama bedah plastik dan bedah syaraf untuk penangganan khusus rekonstruksi.

EPIDEMIOLOGI
Di negara Amerika, hampir 5 juta warga Amerika yang digigit anjing setiap tahun, dan hampir 1 juta orang yang memerlukan perhatian medis yang khusus. Kasus gigitan anjing melibatkan individu-individu dari segala usia, namun kasus yang paling sering adalah di antara usia 5-9 tahun. Lebih dari 30.000 korban gigitan anjing harus menjalani operasi rekonstruksi dan 15 – 20 meninggal akibat gigitan anjing setiap tahun.
Di Bali, belum ada konsensus data-data yang dapat mendukung jumlah kasus gigitan anjing. Namun, sejak akhir-akhir ini kasus rabies yang dianggap sudah dieradikasi muncul, semula di daerah bali ini dan menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Hal ini memerlukan perhatian khusus sehingga memerlukan strategi pengelolaan kasus gigitan anjing. Diperkirakan terdapat 55.000 kematian pada manusia tiap tahunnya karena rabies di seluruh dunia, dengan jumlah sekitar 31.000 di Asia, dan 24.000 di Afrika. India dilaporkan memiliki jumlah tertinggi di seluruh dunia, yang utamanya ditularkan oleh anjing. Pada tahun 2007 Vietnam memiliki rata-rata tertinggi kedua, lalu disusul Thailand di posisi ketiga dengan sebagian besar terjadi akibat gigitan anjing yang terinfeksi.
 Rabies sangat jarang ditemukan di USA diluar negara-negara bagian utara. Tapi pada tahun 2006, rakun-rakun di Atlantik Tengah dan di Barat Laut USA mulai mendapat epidemik rabies sejak tahun 1970, yang kemudian meluas hingga Ohio.
 
PATOFISIOLOGI
Gigitan anjing biasanya menyebabkan luka tipe menghancurkan dan luka tusukan yang dalam karena giginya yang bulat dan rahangnya yang kuat. Anjing yang keras mengayunkan kepalanya dari sisi ke sisi saat gigitan dapat menyebabkan luka laserasi yang meluas dan berpotensi fatal sekiranya terjadi ruptur arteri. Seekor anjing dewasa dapat menghasilkan 200 pounds per square inch (psi) tekanan ke atas gigitannya. Namun, sempat tercatat gigitan dari beberapa species anjing dewasa sebanyak 450 psi tekanan yang berpotensi menghancurkan. Tekanan yang ekstrim seperti itu dapat merusak struktur yang lebih dalam seperti tulang, pembuluh, urat, otot, dan saraf. Gigitan anjing pada bahagian tangan pada umumnya memiliki resiko tinggi untuk terjadinya infeksi. Ini adalah karena pasokan darah yang relatif miskin pada kebanykkan daerah di tangan dan pertimbangan anatomis yang menyebabkan proses pembersihan luka menjadi sulit.
             Secara umumnya, semakin baik suplai darah dan semakin mudah membersihkan luka gigitan maka semakin rendah resiko terjadinya infeksi. Gigitan anjing yang besar paling sering melibatkan luka pada bahagian lengan dan kaki pada orang dewasa dan wajah serta kulit kepala pada anak-anak. 
 
FAKTOR RISIKO
Dalam 70% kasus gigitan anjing, orang digigit oleh anjing peliharaan mereka sendiri atau anjing yang sering kontak dengan mereka. Antara sepertiga dan setengah dari semua kasus gigitan anjing terjadi pada anak-anak. Anak-anak di bawah umur 5 tahun mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk digigit oleh anjing dan yang paling berisiko untuk terjadinya cedera yang serius. Ini terjadi karena anak pada umur itu sering melakukan aktivitas yang dapat memprovokasi anjing-anjing terutamanya anjing liar. Beberapa species anjing yang sangat agresif dan berhubungkait dalam serangan yang sering berakibat fatal yaitu anjing pitt bull, malamutes, chows, rottweiler, huskies, gembala german dan hibrida serigala. Dari tahun 1978-1988, dicatatkan sebanyak 41 persen kematian yang disebabkan oleh gigitan anjing pitt bull. Lelaki sering dilaporkan sebagai korban gigitan anjing yang paling banyak. Mayoritas kasus gigitan anjing paling banyak dilaporkan terjadi pada waktu siang dimana cuaca adalah panas.

KOMPLIKASI.

1.      Infeksi 
Masalah utama pada kasus gigitan anjing adalah sekiranya terjadi infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh macam-macam kelompok patogen (bakteri, virus, rikettsia, spirochetes, dan jamur). Setidaknya terdapat 64 jenis bakteria yang umunya dapat  kita temukan pada mulut anjing yang dapat menybabkan pelbagai jenis infeksi pada manusia.3,4
Species - species bakteria
·  Spesies Staphylococcus 
·  Streptococcus species Spesies Streptococcus 
·  Eikenella species Eikenella spesies 
·  Pasteurella species Pasteurella spesies 
·  Proteus species Spesies Proteus 
·  Klebsiella species Spesies Klebsiella 
·  Haemophilus species Spesies Haemophilus 
·  Enterobacter species Enterobacter spesies 
·  DF-2 or Capnocytophaga canimorsus DF-2 atau canimorsus Capnocytophaga 
·  Bacteroides species Bacteroides spesies 
·  Moraxella species Moraxella spesies 
·  Corynebacterium species Corynebacterium spesies 
·  Neisseria species Spesies Neisseria 
·  Fusobacterium species Fusobacterium spesies 
·  Prevotella species Prevotella spesies 
·  Porphyromonas species Porphyromonas spesies

            Infeksi lokal dan sellulitis adalah penyebab utama morbiditas, manakala sepsis adalah komplikasi lanjut dari luka gigitan anjing yang tidak terawat baik. Sepsis C- canimorsus sering terjadi pada individu yang immunocompromised. Infeksi pada kasus gigitan anjing biasanya disebabkan bakteri yang polymicrobial dan sering merupakan campuran bakteria anaerob dan aerob. 
Diabetes mellitus
Edema kronis pada ekstremitas
Penyakit kronis
Pasien yang immunosuppresif
Dysfungsi hati
Pasien dengan systemic lupus erytematousu

2.      Kerusakkan Jaringan
Gigitan anjing dapat menyebabkan terjadinya cedera tisu dan jaringan yang kadang-kadang sangat ekstensif. Gigitan anjing pada anak-anak sering melibatkan daerah muka dan kepala sehingga dapat menyebabkan kerusakkan pada jaringan (disfigurement). Gigitan anjing dapat menyebabkan luka tusuk yang dalam ataupun kadang-kadang luka laserasi yang luas. Gigitan anjing juga menyebabkan cedera arteri, syaraf, otot, tendon dan kadang-kadang dapat menyebabkan pasien kehilangan anggota badan. Cedera yang ekstensif memerlukan kerjasama bedah plastik dan bedah syaraf untuk penangganan khusus rekonstruksi. 2,3,
3.      Tetanus
Pada kasus gigitan anjing yang tidak ditanggani baik juga dapat menyebabkan tertularnya penyakit tetanus. Tetanus dapat terjadi karena neurotoksin yang diproduksi oleh bakteria anaerobik clostridium tetani. Gejala-gejala tetanus adalah demam, nyeri, parastesia di sekitar luka, dan kejang. Kejang pada tetanus sifatnya adalah tonik. Selain itu, dapat juga terjadi spasmus otot punggung, opistotonus dan trismus (Lock jaw). 9

4.      Rabies
Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi. Virus rabies terdapat dalam saliva, otak, atau jaringan saraf binatang yang terinfeksi. 5,6  Anjing liar dan anjing yang tidak mempunyai riwayat vaksinasi rabies adalah penyebab utama penyebaran virus rabies. Virus rabies adalah suatu RNA virus dari keluarga Rhabdoviridae (genus Lyssavirus) genom beruntai tunggal, tidak bersegmen dan berbentuk peluru yang diselimuti selaput glikoprotein berbentuk tonjolan, berfungsi sebagai  antigen utama yang menginduksi dan mengikat penetral antibodi virus, yang sangat penting untuk kekebalan.
Virus rabies bersifat sangat neurotropik, dimana mereka menyebar melalui sistem saraf dan akhirnya menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan infeksi akut. Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler.
                Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medula spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Setelah melewati medula spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang dan nukleus selebelaris batang otak selanjutnya virus akan menyebar ke sel purkinye serebelum, diencefalons, basal ganglia dan akhirnya menuju korteks serebri, penyebaran menuju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi.
Gejala klinis rabies pada manusia terbagi oleh beberapa stadium yaitu: 11
1. Periode inkubasi ( 30- 90 hari )
2. Gejala prodromal ( 2-10 hari )
3. Gejala neurologi akut ( 2-7 hari )
4. Koma atau kematian ( 0-14 hari )

Periode inkubasi 
Sangat bervariasi dari 4 hari sampai beberapa tahun dan cenderung lebih singkat pada gigitan di muka (± 35 hari) daripada gigitan di tungkai (± 52 hari) Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8 minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik).

Fase prodromal 
Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. Setelah beberapa hari akan timbul manifestasi gejala rabies galak ataupun gejala rabies paralitik, tergantung medulla spinalis ataukah otak yang dominan terinfeksi.

Gejala neurologi akut
Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya, dan dapat dibedakan menjadi encephalitis rabies atau rabies galak atau furious rabies dan paralitik rabies. Hal itu dibedakan berdasarkan pada organ mana yang dominan terinfeksi, apakah otak atau medula spinalis. Encefalitis rabies merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rabies. Penderita menunjukan episode hipereksitabilitas yang mencerminkan gambaran infeksi otak, ditandai episode kebingungan, halusinasi, agitasi dan tingkah laku yang agresif yang berlangsung dalam beberapa menit dan diikuti oleh fase tenang. Gejala hipereksitabilitas terjadi secara spontan atau diprovokasi oleh rangsangan sensorik. Sebagian besar penderita menunjukan gejala hidrofobia dengan trias : spasme otot inspirasi, laringospasme, dan ketakutan menelan. Hidrofobia dapat diprovokasi dengan minum air, memberi air pada kulit penderita, bahkan melihat air, atau mendengar kata air. Mekanisme hidrofobia yang diakibatkan oleh infeksi selektif yang menginhibisi motor neuron pada nukleus ambigus di batang otak yang meningkatkan peningkatan reflek pertahanan yang memproteksi saluran pernafasan. 

Gejala lain antara lain hiperestesia, bingung, halusinasi, kadang agresif tidak terkendalikan. Perubahan tingkah laku diakibatkan oleh infeksi pada neuron di area limbik. Hipersalivasi dan hiperlakrimasi yang diakibatkan oleh disfungsi otonom, dimana terjadi rangsangan berlebihan pada sistem parasimpatis, dapat terjadi lesi saraf kranialis terutama pada saraf kranialis III, VI, VII, IX, X, XI, XII. Disfungsi otonom sebagai akibat terjadinya infeksi yang melibatkan sistem otonom pusat dan jalur sistem otonom saraf medula spinalis atau ganglion otonom. Rangsangan parasimpatis meningkatkan produksi saliva. Reflek yang menyiksa dan tiba-tiba mengakibatkan terjadi spasme laringoparingeal, nyeri tenggorok, dan nyeri dada yang merupakan episode bangkitan / kejang dimana leher dan punggung mengalami ekstensi seperti epistotonus dan leher terangkat ke atas yang diakhiri oleh henti jantung dan henti nafas. 
Pada rabies paralitik terdapat gejala kelumpuhan yang menonjol berupa paresis pada keempat ekstrimitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang mirip terkadang mirip suatu sindrom Gullain Barre. Kadang disertai hidrofobia dan spasme otot laring pada fase terminal.

Koma
Tanpa terapi suportif  ⅓ pasien akan meninggal di hari pertama hidrofobia, ⅔ akan jatuh menjadi koma atau mengalami paralisis flaccid dan jarang ada yang bertahan lebih dari 1 minggu tanpa perawatan intensif.  12

 Komplikasi lain-lain
Komplikasi lain-lain yang dapat kita temukan pada kasus gigitan anjing adalah arthritis septic, osteomielitis, peritonitis, endokarditis, tenosynovitis, endolpthalmitis dan meningitis.

MANAJEMEN 
Manajemen awal
Pertama sekali dilakukan adalah memastikan pasien stabil, ini dilakukan dengan cara mengevaluasi status ABC (airway, breathing, circulation). Setelah memastikan pasien secara medis stabil dan vital signnya bagus, harus memulai mencatatkan anamnesa pasien yang lengkap(sacred seven dan fundamental four). Informasi yang tepat seperti waktu dan lokasi kejadian, apakah anjing tersebut diprovokasi, status imunisasi anjing dapat membantu menentukan pasien yang berisiko infeksi. Selain itu, adalah penting dilakukan anamnesa tentang status imunisasi tetanus pasien, pengobatan sekarang, riwayat penyakit-penyakit penyerta dan status alergi pasien. 
             Setelah itu, dilakukan evaluasi fisik pasien bagi mengetahui klasifikasi luka pada korban gigitan anjing, apakah jenis luka tusuk, laserasi, abrasi atau avulsi serta evaluasi tingkat keparahan dari luka tersebut. Hendaklah dievaluasi apakah terjadinya cedera pada tendon, pembuluh darah, syaraf, tulang atau kerusakkan ligamen. Pemeriksaan motorik dan neuromuskular yang lengkap haruslah dilakukan untk mengevaluasi fungsi motorik pasien. Dan tidak lupa juga untuk mengevaluasi tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, nyeri tubuh, mual, muntah, kelemahan, nyeri, eritema, eksudat, edema, panas, atau bau busuk yang berasal dari cedera).
 
 Pemeriksaan tambahan
Meskipun anemnesa dan pemeriksaan fisik adalah yang utama harus dikerjakan untuk diagnosis dan manajemen dari luka gigitan anjing. Namun terdapat pemeriksaan tambahan yang dapat kita kerjakan dalam menentukan rencana terapi selanjutnya. Pemeriksaan radiologik dapat dikerjakan sekiranya curiga terjadi fraktur tulang, adanya foreign body(benda asing), ataupun curiga terjadinya infeksi. Dengan pemeriksaan radiologik maka kita evaluasi apakah terjadinya fraktur tulang, ataupun gigitan anjing yang menembus kapsul sendi sehingga terjadinya septik arthritis. Selain itu, mempertimbangan untuk evaluasi vaskular jika ada kemungkinan cedera vaskular.
        Pemeriksaan kultur dapat dikerjakan sekiranya curiga terjadi infeksi. Pasteurella Multocida adalah organism yang paling virulent yang bisa menyebabkan infeksi dalam 24 jam pasca gigitan. Tes lab yang lain dikerjakan atas indikasi kondisi pasien, contohnya seandainya curiga terjadinya sepsis maka tes darah lengkap dan kultur darah dapat dikerjakan. 1,2,3,7

Manajemen luka
Yang pertama sekali kita haruslah mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau detergen selama 10-15 menit kemudian diberikan antiseptik ( povidone-iodine, iodine tincture, aqueous iodine solution atau alkohol/etanol ), tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Sekiranya terjadi perdarahan yang ekstensif maka harus segera diberikan sebuah penekanan dengan cara bandase untuk mengendalikan perdarahan. Sekiranya perdarahannya dapat dekendalikan, maka langkah seterusnya adalah eksplorasi dan biasanya dilakukan pada luka yang dalam atau luka tusukan. Eksplorasi dilakukan dengan cara membius jaringan yang luka sehingga dapat melakukan irigasi dan biasanya dilakukan pada luka terbuka. Irigasi dilakukan dengan cara mengairi luka dengan larutan saline dan juga larutan antiseptik betadin dalam nisbah 2:1. Dengan irigasi diharapkan dapat mengerluarkan debris atau kotoran dari luka dan juga mengurangi insiden terjadinya infeksi. Cairan antiseptik povidone 1% didapatkan lebih baik dipakai untuk irigasi luka atau gigitan terkontaminasi oleh karena povidone 10% yang diencerkan menjadi 1% adalah germicidal tetapi tidak merusakkan jaringan. Adalah penting untuk mengairi bahagian luka dengan larutan saline sebanyak mungkin untuk mengerluarkan debris dan bakteria yang bahaya. Sebuah penelitian mendapatkan bahwa dengan irigasi yang berlebihan secara signifikan mengurangi tingkat infeksi lebih dari 50%.1,2,3,4
        Debris haruslah dibersihkan dengan baik dari luka dengan cara melakukan debridement. Namun tidak semua luka membutuhkan debridement, hanya luka dengan jaringan yang rusak dan nekrotik yang harus dilakukan debridement. Luka tusuk biasanya tidak perlu dilakukan debridement. Adalah penting untuk melakukan debridement untuk memastikan penyembuhan jaringan di sekitarnya dengan baik. 7
          Setelah luka dibersihkan, keputusan haruslah dibuat apakah luka itu harus dijahit. Biasanya luka pada daerah muka haruslah dijahit dengan alasan kosmetik dan untuk mencegah terjadinya scar. Tetapi, pada luka yang minimal dan luka yang lebih dari 24 jam dapat dibiarkan terbuka untuk sembuh. Luka dengan risiko tinggi komplikasi dan infeksi( misalnya luka pada tangan dan luka tusukan yang dalam) dapat dibiarkan terbuka dengan alasan penyembuhannya. Luka pada daerah wajah atau leher yang ekstensif dan sulit dikerjakan hendaklah dikonsulkan ke bedah plastik untuk penangganan selanjutnya.1,13
           Selain itu, haruslah dikonsul ke bahagian bedah plastik atau bedah syaraf atau bedah ortopaedi untuk operasi rekonstruksi sekiranya terjadi cedera jaringan yang ekstensif, ruptur arteri, tendon ,otot atau terjadi komplikasi pada tulang. 

Profilaksis antibiotika
Cuma sekitar 15 -20% kasus gigitan anjing terjadinya infeksi. Cedera crush, luka tusukan dan luka pada tangan lebih memungkinkan untuk terjadi infeksi dan sering memerlukan profilaksis antibiotika. Antibiotika biasanya diresepkan pada situasi yang berisiko tinggi contohnya pada cedera menghancurkan(crush injury), cedera tangan, cedera genital, luka yang membutuhkan debridement dan luka yang melibatkan sendi, tulang, ligamen atau tendon. Selain itu, profilaksis antibiotika juga diberikan pada orang yang berisiko terjadinya infeksi contohnya pasien diabetes, sirosis atau immunosuppresif. Antibiotika umumya tidak diperlukan seandainya jika luka sudah terjadi lebih dari dua hari dan tidak ada tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
             Untuk kasus-kasus seperti itu, antibiotika resistence beta-laktamase spektrum-luas yang sering dipakai. Tinjauan sistematis pemeriksaan infeksi pada jaringan lunak mendapatkan bahwa amoksisilin/ klavulanate menjadi antibiotika pilihan karena tingginya insiden infeksi Pasteurella penisillin. Untuk pasien yang allergik terhadap penicillin, doksisiklin menjadi pilihan alternatif. Namun, doksisiklin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau pada anak-anak muda kurang dari 8 tahun. Pada wanita hamil bisa digantikan dengan antibiotika eritromisin. Alternatif lain untuk populasi anak-anak adalah kombinasi klindamisin dan trimetoprim-sulfametoksazol. Antibiotika profilaksis yang diberikan haruslah diresep untuk 5 sampai 7 hari. Pasien dengan luka terinfeksi biasanya membutuhkan antibiotika selama 10-14 hari.

Profilaksis anti-rabies
Di Amerika Serikat pasien setelah paparan mendapatkan satu dosis human rabies immunoglobulin (HRIG) dan empat dosis vaksin rabies selama periode 14 hari. Dosis Imunoglobulin tidak boleh melebihi 20 unit per kg berat badan yang hanya diinfiltrasikan disekitar luka gigitan.
Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies dilakukan melalui dua cara : imunisasi sesudah terkontak (post-exposure prophylaxis) dan imunisasi sebelum terkontak (pre-exposure prophylaxis). Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) saja atau dengan SAR. VAR saja bila gigitan pada luka yang tidak berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan dan kaki. Pemberian VAR dengan SAR bila luka berbahaya (jilatan/luka pada mukosa, luka pada muka, kepala, leher, lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam/multipel).13
            Pemberian VAR adalah sebagai berikut : Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) sesudah digigit merupakan vaksin kering beku berupa virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 38-1503-3 M Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu hari I kunjungan/hari ke 0 diberikan dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan kiri. Hari ke 7 diberikan lagi 0,5 ml secara IM di deltoid, diulangi pada hari ke Bila hendak diberikan bersama dengan SAR maka diulang lagi 0,5 ml pada hari ke 901. Vaksinasi intramuskular diberikan di daerah deltoid bukan di daerah gluteus karena dihubungkan dengan kondisi gluteus yang banyak mengandung lemak dibandingkan otot sehingga injeksi vaksin gagal. 

 Sedangkan cara pemberian SAR yang terdiri dari dua jenis antara lain
1.  Serum heterolog berasal dari serum kuda, dilakukan skin test sebelum penyuntikan. Dilakukan infiltrasi pada luka sebanyak-
         banyaknya sisanya disuntikkan secara IM dengan dosis 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I   
         kunjungan/hari ke 0.
2. Serum homolog dari serum darah manusia yang diinfiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya sisanya secara IM dengan dosis 40 
        IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I kunjungan/hari ke 0.
      
Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka resiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
Profilaksis tetanus
          Selain itu, juga harus mempertimbangkan pemberian tetanus. Setiap luka yang dalam dan luka tusukan biasanya bisa terkontaminasi oleh spora tetannus, oleh itu adalah penting pemberian profilaksis tetanus untuk manajemen pasien gigitan anjing. Pasien harus menerima tetanus toxoid jika imunisasi terakhir diberikan lebih dari 5 tahun sebelumnya. Pasien yang status imunisasi tetanusnya tidak diketahui dan yang menerima kurang dari tiga kali imunisasi tetanus haruslah diberikan suntikan tetanus immunoglobulin ataupun toksoid tetanus/difteria dan vaksin diberikan sesuai dengan umur pasiennya.

Follow-up
Pasien dan keluarga hendaklah dididik tentang perawatan luka di rumah. Untuk mengurangi rasa nyeri atau bengkak, dapat dilakukan dengan menerapkan es pada daerah gigitan dilakukan selama 15 minit setiap jam untuk 24 jam pertama. Daerah gigitan anjing haruslah diimobilisasi untuk sementara supaya tidak memperparah kondisi. Daerah luka dicuci dengan air dan sabun yang secukupnya dan jangan merendam bahagian yang luka dalam air. Pasien hendaklah diedukasikan tentang dosis dan pengambilan antibiotika sekiranya ada dan menganjurkan pasien untuk menghabiskan semua obat antibiotika yang ada. Pasien juga haruslah disuruh kembali ke rumah sakit sekiranya muncul gejala-gejala infeksi atau nyeri yang semakin parah. Pasien hendaklah kontrol ke poli dalam 3 hari untuk rawat luka dan buka jahitan sekiranya lukanya sudah kering. Pasien juga diedukasi tentang pencegahan dari gigitan anjing.
 

DAFTAR  PUSTAKA
1.  herese R.Ridzzo Jeniffer Leftner MSN FNP-BC, Margitt B Phd, 2008. Clinical management of dog bite injuries. Available from :    http://www.clinicaladvisor.com/clinical-management-of-dog-bite-injuries/article/119815/  (Accesed June 8th, 2010)
2.  Alisia Perkins MD, Struart Harris MD, 2009. E-medcine specialities animal bites.        Available from   :  http://emedicine.medscape.com/article/768875-overview  (Accesed June 9th,2010)
3.  Benjamin C MD, Melissa Conrad MD, 2009. MedcineNet Dog Bite Treatments. Available from   :   http://www.medicinenet.com/dog_bite_treatment/article.htm
      (Accesed June 9th,2010)
4.  American Family Physicians, 2001. Treatments of Dog Bites. Available from  :    http://www.aafp.org/afp/2001/0415/p1567.html. (Accesed June 10th, 2010)
5.   Danielly. 2009. Travel Clinic Matraville. Available from : www.vaccinations.com.      (Accesed  June 11th, 2010)
6.  Wikipedia. 2009. Rabies. Available from : http://id.wikipedia.org (Accesed  June      12th, 2010)
7.  Jeniffer Broom, Marion L Woods, 2006.  Managemet of Bite Injuries. ( Available from   :   http://www.australianprescriber.com/magazine/29/1/6/8/. ( Accesed June 12th , 2010).
8.  Danielly. 2009. Travel Clinic Matraville. Available from : www.vaccinations.com.    (Accesed  June 1st, 2010)
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2006. Buku Pedoman Standar        Pelayanan Medis dan Standar Pelayanan Operasional Neurologi. Jakarta : PERDOSSI.
10. Siswono. 2006. IPB Kembangkan Vaksin Rabies Baru [online]. Available from :
http://www.gizi.net. (Acessed: June, 4th 2010)
11.  Jackson, Alan. 2007. In : Rabies. Charon Tec Ltd, Chennal, India : 1-634.
12. Shakir RA. 1996. Rabies. In : Tropical Neurology. WB Saunders Company LTD,         
       Philadelphia : 52-71.
13. Patient UK, 2009. Dog Bites and managements. Available from :                          


1 komentar: