Hampir semua ahli bedah ortopedi menemukan
sindroma kompartemen akut (acute
compartment syndrome/ACS) dalam praktek klinis mereka. Diagnosis ACS sebagian
besar bergantung pada temuan klinis. Bila diagnosis
terlewatkan dan tidak ditangani dapat menyebabkan konsekuensi serius yang
membahayakan anggota badan dan hidup pasien serta juga resiko bagi dokter untuk
menghadapi tuntutan hukum. Artikel ulasan ini menyoroti karakteristik ACS yang akan
membantu ahli bedah ortopedi untuk memahami patofisiologi, riwayat penyakit,
pasien risiko tinggi, diagnosis, dan pengelolaan operasi dari kondisi tersebut.
1.
Pendahuluan
Hampir semua ahli bedah ortopedi pernah menemukan
sindrom kompartemen akut (ACS) dalam praktek klinis mereka. Dr.
Volkmann, seorang dokter Jerman pada tahun 1881, menjelaskan ACS dengan
melaporkan kontraktur tangan yang merupakan konsekuensi dari kondisi ACS tersebut[1]. Pada
tahun 1888, Petersen untuk pertama kalinya melaporkan pengelolaan ACS [2]. Sindrom
kompartemen sebagian besar didiagnosis dengan temuan berbagai variasi gejala
klinis dan tanda-tanda dalam berbagai pemeriksaan. Jika
diagnosis ini terlewat dan tidak dikelola, dapat menyebabkan kerusakan serius
pada jaringan lunak dari ekstremitas meliputi otot, saraf, dan pembuluh. Kadang-kadang
dapat mengakibatkan hilangnya anggota badan atau bahkan kematian. Seorang
ahli bedah ortopedi harus memiliki pemahaman tentang kondisi ini, termasuk
cedera tertentu dan kelompok pasien tertentu yang lebih rentan untuk mengalami ACS. Seorang
ahli bedah harus memahami dasar-dasar dari sindrom kompartemen yang meliputi patofisiologi,
epidemiologi, diagnosis, dan pengelolaan ACS [3].
2.
Patofisiologi
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai
kondisi di mana tekanan kompartemen yang tertutup meningkat sedemikian hingga mikrosirkulasi
dari jaringan di kompartemen mengalami penurunan [4].
Dua faktor ditemukan bertanggung jawab
untuk masalah ini, yakni penurunan volume kompartemen atau peningkatan isi
kompartemen, atau terkadang kedua faktor ini muncul pada saat yang sama. ACS
terjadi ketika tekanan intra-kompartmen (ICP) melebihi tekanan kapiler vena. Peningkatan
ICP mengakibatkan peningkatan tekanan pada ujung kapiler vena dan juga
menghasilkan peningkatan tekanan hidrostatik, yang mengarah ke kompresi arteriol
[5]. Mikrosirkulasi terganggu karena kompresi arteriol, sehingga
mengurangi atau menekan perfusi jaringan. Perfusi
dan oksigenasi inadekuat berakibat pada iskemia jaringan lunak dan anoksia serta
kematian sel. Jaringan yang paling rentan mengalami iskemik dalam
kompartemen adalah otot rangka [6]. Luas
kematian otot tergantung pada durasi iskemia, suhu jaringan, dan mikrosirkulasi
residual yang tersedia. Pasokan darah kolateral yang memadai dan suhu lokal yang
lebih rendah memperlambat proses iskemik [7]. Rorabeck dan Clarke menunjukkan
bahwa durasi peningkatan tekanan signifikan dalam pemulihan fungsi neurologis. Tekanan
40 sampai 80 mm Hg yang menetap selama 4 jam tidak menyebabkan disfungsi saraf
permanen, namun, bila terjadi selama 12 jam atau lebih, perubahan neurologis
permanen akan terjadi [8]. Kesimpulannya, jumlah nekrosis otot rangka
berbanding lurus dengan lamanya iskemia dan berbanding terbalik dengan suhu.
3.
Epidemiologi
Sindroma kompartemen akut biasanya terjadi
pada pasien trauma yang memiliki cedera lain yang mengakibatkan pengalihan perhatian
seorang klinisi dari diagnosa ACS. Dalam
pengelolaan pasien ini, dokter harus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi. Regio
yang paling sering mengalami ACS adalah tungkai (leg) lalu diikuti dengan lengan bawah (forearm), lengan atas (arm),
paha (thight), kaki (foot), daerah gluteal, tangan (hand), dan perut.
Berbagai faktor risiko yang berkaitan
dengan kompartemen sindrom dan usia merupakan salah satu faktor yang penting. Pasien
yang lebih muda lebih rentan untuk mengalami ACS dibandingkan dengan pasien
usia lanjut dengan sifat trauma yang sama [9]. Faktor
risiko lain adalah jenis dan lokasi cedera. Fraktur tibial shaft tertutup adalah penyebab paling umum dari sindrom
kompartemen dan menjadi penyebab bagi sepertiga dari semua kasus ACS. Seperempat
dari kasus adalah akibat dari trauma tumpul (blunt) dan crushing pada jaringan lunak di ekstremitas, kemudian fraktur
radius ulna shaft bertanggung jawab
atas 20 persen dari kasus ACS. Cedera kaki dalam kecelakaan lalu lintas di jalan
berkontribusi atas 6% dari semua kasus ACS [10], dan insidensi ACS pada cedera tungkai bawah
lebih sedikit lagi [11]. Revaskularisasi setelah cedera atau obstruksi arteri akut juga
dapat mengakibatkan ACS; maka dalam kebanyakan kasus pasien perlu menjalani fasciotomi setelah revaskularisasi [12].
Laki-laki lebih rentan untuk mengalami ACS,
dengan angka sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kejadian ACS pada
fraktur terbuka dan tertutup adalah sama. Penyebab ACS traumatis lain yang
lebih jarang meliputi luka bakar dan trauma tumpul atau crushing pada ekstremitas. ACS
dapat muncul akibat pemosisian kaki yang buruk dalam suatu prosedur pembedahan
yang lama, secara khusus posisi litotomi [13]. Latihan
berlebihan oleh atlet atau aktivitas fisik yang tidak rutin atau berlebihan pada
non-atlet juga dapat menyebabkan sindrom kompartemen akut (ACS) pada kaki yang
membutuhkan perhatian medis yang mendesak [14]. Sindrom
kompartemen akut juga dapat diperoleh dari penyebab non kecelakaan seperti
kondisi medis yang meliputi sindrom nefrotik, myositis virus, hipotiroidisme,
gangguan perdarahan, keganasan, dan diabetes mellitus [15]. Infark
otot akibat diabetes (DMI) adalah kondisi pada penderita diabetes yang mengakibatkan
sindrom kompartemen [16]. Ruptur kista Baker juga dilaporkan sebagai penyebab ACS,
walau ini cukup jarang [17].
4. Diagnosis
Klinis
Sindrom kompartemen sebagian besar
didiagnosis secara klinis. Kurangnya pengetahuan dan pelatihan yang tidak memadai dapat menyebabkan
diagnosis tertunda atau bahkan terlewat. Pemeriksaan harus dilakukan secara
serial dengan banyak pengulangan pada beberapa titik waktu tertentu untuk membuat
diagnosis definitif. Lebih baik lagi bila tersedia satu dokter bedah yang harus
melakukan pemeriksaan secara serial dan membuat diagnosis. Jika
tanda dan gejala dirasa samar-samar, maka lebih baik bila mengambil pendapat
kedua dari rekan senior. Salah satu faktor prognostik paling penting untuk hasil
adalah waktu kemunculan ACS hingga waktu diagnosis dan waktu tindakan bedah.
Lima "P" yang disebutkan dalam
literatur untuk sindrom kompartemen adalah
pain,
paralysis, paresthesia, pallor, dan pulselessness (nyeri, paralisis, paresthesia, pucat, dan hilang pulsasi) [18]. Meskipun
semua tanda-tanda klinis dan gejala klinis yang disebutkan adalah penting,
kebanyakan tidak semua ditemukan dalam setiap kasus, dan pada kenyataannya adanya
pulselessness menunjukkan bahwa ACS sudah
terlambat untuk mencapai hasil pengelolaan yang baik. Gejala
kardinal ACS pada pasien yang sadar adalah "rasa sakit luar biasa."
Nyeri saat istirahat dan dengan peregangan pasif hampir selalu ditemukan dalam kemunculan
ACS. Tetapi jika ACS sudah terjadi dan berada di stadium akhir,
nyeri dapat menjadi temuan klinis yang sulit diperoleh karena reseptor nyeri
dan serabut saraf telah mengalami nekrosis iskemik dan kematian. Selain
itu, nyeri bisa tak ditemukan pada pasien dengan anestesi regional serta pada pasien
ICU yang diberi sedasi dan relaksasi.
Tanda pertama dari iskemia saraf adalah
parestesia yang diikuti oleh hipoestesia, anestesi, paresis, dan paralisis. Penilaian
sensorik harus dilakukan dengan pengujian tusukan jarum, sentuhan ringan, dan
diskriminasi dua titik pada pasien yang terjaga. Defisit
motorik di anggota badan yang terkena dapat disebabkan oleh iskemia saraf dan /
atau otot atau akibat rasa sakit. Paralisis
komplit ditemukan pada akhir tahap sindrom kompartemen dan menunjukkan
kerusakan permanen pada saraf dan / atau otot.
Pulselessness pada ACS juga merupakan temuan akhir. Pada ACS,
tekanan dalam kompartemen biasanya tidak cukup tinggi untuk mengkompresi
arteri. Hilangnya pulsasi dan adanya tungkai yang pucat bisa menjadi
indikasi cedera arteri langsung. Pengisian kapiler sebagian besar tetap ada bahkan pada ACS yang berkembang
dengan baik jika tidak ada cedera arteri langsung.
Satu-satunya tanda klinis ACS yang akan
muncul bisa jadi bengkak yang masif pada ekstremitas dengan kompartemen yang
keras. Pada pasien tidak sadar sebagian besar temuan klinis tidak
dapat diperoleh; karena itu perlu untuk memeriksa tekanan kompartemen dengan perangkat.
5. Pemantauan Tekanan Intrakompartemen
Berbagai teknik dan perangkat untuk
pengukuran tekanan intracompartment (ICP) telah disebutkan dalam literatur. Pengukuran
ICP untuk diagnosis ACS pada pasien terjaga adalah hal yang kontroversial. ICP
hampir mencapai 8 mmHg pada orang dewasa saat beristirahat dan hampir dua kali
lipat pada pediatri [19]. Berbagai teknik untuk mengukur ICP meliputi monitor genggam
untuk pembacaan tekanan tunggal, jarum Stryker dengan Portal sisi, dan jarum
biasa dengan setup jalur arteri. Jika
peralatan yang lebih canggih tidak tersedia, tekanan kompartemen dapat diukur
dengan menggunakan tabung infus, three-way
stopcock, jarum spuit, dan manometer merkuri, seperti yang dijelaskan oleh
Whitesides et al. [20]
(Gambar 1). Penyiapan manual untuk pengukuran tekanan
intracompartmental (Campbell Operative
Orthopaedics, Edisi ke-11).
Boody
dan Wongworawat membandingkan tiga perangkat yang biasa digunakan untuk
mengukur tekanan kompartemen yang meliputi Stryker Intracompartmental Pressure Monitor System
Gambar 2: Perangkat digital Stryker.
manometer jalur arteri, dan peralatan Whitesides
(Gambar 3). Boody et al. melaporkan bahwa manometer jalur arteri adalah manometer yang
paling akurat lalu diikuti oleh perangkat Stryker dan penggunaan jarum portal sisi
yang memberi hasil yang lebih baik daripada jarum lurus.
Gambar 3: Synthes (West Chester, PA) pemantau
tekanan kompartemen genggam.
Tekanan kompartemen ditemukan berbeda di
berbagai lokasi dalam kompartemen terkait dengan lokasi cedera; maka ada
hubungan antara ICP dan jarak dari situs fraktur. Heckman
et al. mengemukakan bahwa tekanan harus diukur di berbagai situs di
seluruh kompartemen kecuali dalam jarak 5 cm dari situs fraktur [21].
Berbagai penulis menyebutkan nilai yang
berbeda untuk tekanan kompartemen yang dianggap sebagai ambang batas untuk fasciotomi
dekompresif bedah. Matsen et al. menggunakan nilai absolut sebesar 45 mmHg untuk
diagnosis ACS dan indikasi untuk fasciotomi lalu 30 mmHg digunakan oleh Mubarak
et al. [22, 23]. McQueen dan Court-Brown mengemukakan bahwa jika perbedaan
antara tekanan darah diastolik dan ICP adalah kurang dari 30 mm Hg, itu sangat
mencurigakan untuk adanya ACS dan harus didekompresi [24]. Gelberman
et al. juga menganjurkan fasciotomi kompartemen untuk tekanan
kompartemen yang lebih besar dari 30 mm Hg [25]. Penulis
lain telah merekomendasikan fasciotomi untuk tekanan yang lebih besar dari 40
mmHg atau nilai delta sebesar 40 mmHg (perbedaan antara tekanan arteri
rata-rata dan tekanan kompartemen) [26]. Menegakkan diagnosis hanya dengan pengukuran
pada pasien sadar dapat menyebabkan operasi yang tidak perlu [27]. McQueen
et al. melaporkan sensitivitas dalam studi retrospektif sebesar 93% untuk
pemantauan ICP pada suspek ACS dengan estimasi spesifisitas 98%, estimasi nilai
prediksi positif dari 93%, dan estimasi nilai prediksi negatif sebesar 99% [28]. Sementara
Whitney et al. menyebutkan angka positif palsu 35% untuk diagnosis ACS pada
pasien dengan fraktur tibial shaft
yang menjalani pengukuran ICP satu waktu di bawah anestesi sebelum fiksasi
fraktur tibialis, pada kenyataannya klinisnya tidak memiliki bukti klinis
sindrom kompartemen sebelum dan pasca operasi serta fasciotomi tidak dilakukan
[29]. Literatur mendukung pemantauan ICP terus menerus bukan pengukuran
satu waktu untuk menetapkan diagnosis ACS.
Pasien yang tidak terjaga dan sadar atau
yang telah diberikan blok regional untuk anestesi atau analgesia pasca operasi
harus diperhatikan lebih hati-hati karena tanda-tanda dan gejala klinis tidak
dapat diperoleh [30]. Dokter harus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi untuk
diagnosis ACS pada pasien tersebut dan tidak boleh terjadi keterlambatan dalam
pemantauan dan pengukuran ICP dengan perangkat yang tersedia.
6. Spektroskopi Inframerah
Sebuah teknik baru yang disebut sebagai spektroskopi
inframerah jarak dekat (near infrared spectroscopy/NIRS)
adalah teknik non-invasif dan berkesinambungan. Teknik
ini didasarkan pada penyerapan cahaya di dekat spektrum inframerah yang sesuai
dengan hemoglobin teroksigenasi dan terdeoksigenasi. Penilaian
oksigenasi jaringan dilakukan dengan membandingkan konsentrasi oksihemoglobin
dan deoxyhaemoglobin dalam darah vena. Garr
et al. menunjukkan sebuah hubungan terbalik antara tekanan
kompartemen dan oksigenasi pada hewan model [32].
7.
Pemantauan pH Intracompartment
Selain fitur klinis dan pengukuran ICP,
Elliot menjelaskan peran monitoring pH intramuskular (IM) dalam diagnosis ACS. Dia
melaporkan spesifitas tinggi dalam mengukur pH IM yang ditemukan mencapai 80%
dengan pH kurang dari 6,38 sedangkan spesifitas dalam pemantauan ICP adalah 27%
hingga 30%. Dia merekomendasikan bahwa pasien dengan ACS dapat diidentifikasi
lebih awal dan lebih akurat menggunakan pemantauan pH IM dan kemudian
mengurangi morbiditas terkait dengan ACS [33].
8. Fasciotomi
Setelah diagnosis ACS ditegakkan, maka fasciotomi
dekompresif bedah harus dilakukan segera, tetapi teknik bedah yang baik adalah hal
yang wajib diperhatikan. Setelah keputusan untuk fasciotomi dibuat, pengaturan ruang
operasi harus dipercepat. Sementara itu, menjaga kaki tetap tinggi perlu dilakukan
untuk meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan pembengkakan. Semua
balutan harus dilonggarkan atau dilepas jika memungkinkan. Kirim sampel darah
untuk pemeriksaan awal dan serta pengelompokan dan skrining untuk kemungkinan
transfusi pada periode pasca operasi.
Ada berbagai teknik fasciotomi kaki dalam
literatur, yang meliputi fasciotomi satu sayatan dengan fibulectomy, fasciotomi
sayatan tunggal tanpa fibulectomy, dan yang paling umum adalah pendekatan fasciotomi
bedah dua sayatan dengan sayatan anterolateral dan posteromedial.
Gambar 4: Potongan melintang melalui kaki
menunjukkan lokasi sayatan fasciotomi untuk dekompresi pada ke-empat
kompartemen [31].
Dalam teknik dua sayatan, sayatan
anterolateral dibuat hingga mendekati kompartemen anterior dan lateral. Ini terletak
di tengah-tengah antara tibial crest dan
fibular head (Gambar 4). Sayatan
dimulai 5 cm distal fibular head dan diperluas
sampai 5 cm proksimal malleolus lateral. Fasia dari kompartemen anterior dan kompartemen
lateral seharusnya terbebaskan melalui sayatan ini. Ahli
bedah harus berhati-hati tentang saraf peroneal superfisial yang muncul di sekitar
10-12 cm proksimal lateral maleolus ketika mengeksisi fascia. Pendekatan
ini bisa mengekspos periosteum dari maleolus lateral dan tendon peroneal. Kondisi
otot-otot harus dinilai setelah fasciotomi. Warna
pink / merah pada otot dan adanya kontraksi pada stimulus merupakan indikasi
dari otot yang viabel. Semua otot nonviabel harus dieksisi. Tendon,
periosteum, dan otot-otot yang terkena harus tetap lembab untuk menghindari
pengeringan jaringan dan mencegah infeksi [31]. Sayatan kedua adalah sayatan posteromedial
yang dibuat 2 cm posterior hingga perbatasan medial tibia. Sayatan ini
digunakan untuk membebaskan kompartemen posterior superfisial dan profunda, dan
untuk menilai viabilitas otot-otot di kompartemen ini. Insersio
soleus harus dibebaskan untuk dekompresi kompartemen posterior yang memadai. Ahli
bedah harus mencoba untuk menghindari perusakan saraf dan vena saphena saat
melakukan prosedur ini.
Teknik insisi tunggal berhasil dilakukan
oleh mereka yang berpengalaman tetapi kurang populer (Gambar 5). Maheshwari
et al. melaporkan hasil yang sangat baik dalam seri kasus mereka yang
terdiri dari 58 kaki yang menjalani fasciotomi satu sayatan. Sebuah
sayatan memanjang dibuat di atas fibula hingga 5 cm distal fibular head dan 5 cm proksimal malleolus lateral. Melalui
pendekatan ini, kompartemen anterior, lateral dan posterior superfisial
terbebaskan dahulu dan kemudian diikuti oleh pembebasan pada kompartemen
posterior profunda di situs insersio fibula posterolateral pada septum intermuskularis
lateral. Pendekatan ini berisiko mencederai saraf dan pembuluh peroneal
ketika masuk ke kompartemen posterior profunda. Dokter
bedah harus menginsisi septum intermuskularis lateral pada insersio fibula-nya.
Meskipun fibulectomy melalui sayatan
lateral tunggal dianggap teknik yang populer untuk fasciotomi empat kompartemen
kaki, sekarang digantikan oleh fasciotomi dua sayatan karena morbiditas yang
lebih rendah [35].
Lokasi umum kedua untuk mengalami sindrom
kompartemen adalah lengan. Ada empat kompartemen di lengan: volar, punggung, Mobile wad of Henry, dan pronator kuadratus
[36]. Kompartemen lengan tidak benar-benar independen satu sama lain seperti di
kaki. Oleh karena itu kompartemen tunggal tidak perlu ditangani secara
individual. Kompartemen volar paling sering terlibat dan perlu
dekompresi. Berbagai pola sayatan telah dijelaskan dalam literatur,
termasuk insisi berbentuk lazy S dan kurva. Sayatan
harus di aspek ulnar pada pergelangan tangan untuk menghindari mengekspos arteri
radial dan saraf median yang dangkal pada pergelangan tangan. Sayatan
volar harus selalu menyertakan palmar proksimal untuk melepaskan ligamentum
karpal transversus terowongan karpal (Gambar 6).
Gambar 6: Sayatan volar berbentuk S pada
palmar proksimal untuk dekompresi carpal
tunnel.
Setelah membebaskan fleksor digitorum
superfisialis, otot-otot volar dalam seperti fleksor digitorum profundus,
pronator kuadratus, dan fleksor karpi ulnaris juga harus didekompresi. Setelah
rilis/pembebasan kompartemen volar, tekanan kompartemen dorsal dan kompartemen mobile wad harus diukur. Kebanyakan
dekompresi kompartemen volar juga akan membebaskan tekanan di kompartemen
ekstensor. Untuk membebaskan kompartemen dorsal, sayatan memanjang
dibuat yang meluas dari 4 cm distal ke lateral epikondilus hingga tuberkulum Lister
[37].
Untuk sindrom kompartemen kalkanealis
terisolasi di mana saraf dan pembuluh plantaris dikompresi, sayatan plantar tunggal
harus dibuat dari sisi medial tumit dan kaki. Pendekatan
ini dimulai dengan sayatan di sisi plantar metatarsal pertama. Abdukotor halusis yang merupakan otot di kompartemen medial harus dibagi
secara longitudinal. Luka dapat ditutup dengan delayed
primary closure atau sembuh dengan secondary
intention. Mubarak dan Owen menjelaskan pendekatan dorsal untuk rilis kompartemen
interosseus yang merupakan kompartemen yang paling terkena dampak pada ACS
kaki. Pendekatan ini terdiri dari dua sayatan dorsal di atas
metatarsal kedua dan keempat, menjaga kemungkinan memperoleh skin bridge terlebar untuk menghindari nekrosis
skin flap [38] (Gambar 7).
Gambar 7: Potongan anatomi bagian kaki depan. Pendekatan dorsal dilakukan menggunakan satu atau dua sayatan memanjang. Ini memudahkan akses ke kompartemen interosseus dan adduktor. MT = metatarsal; M = medial kompartemen; A = kompartemen adduktor; S = kompartemen superfisial; L = kompartemen lateralis.
Pendekatan
dorsal ini membantu dalam mengakses semua kompartemen dan memberikan paparan
yang memadai untuk fiksasi fraktur. Dokter
bedah harus berhati-hati terhadap vena dan saraf superfisial.
Fasciotomi bukan prosedur jinak karena dapat
merusak fungsi pompa otot betis secara jangka panjang pada pasien dengan dan
tanpa cedera vaskuler. Pasien-pasien tersebut dapat mengalami insufisiensi vena
kronis setelah trauma dan fasciotomi [39].
9. Pengelolaan
Luka setelah Tindakan
Meskipun fasciotomi adalah prosedur untuk
menyelamatkan anggota tubuh, tindakan ini dapat membawa morbiditas yang
signifikan. Sayatan fasciotomi dapat menyebabkan luka besar, tak enak
dilihat, dan kronis. Pada 48 sampai 72 jam setelah fasciotomi, pasien harus dibawa
kembali ke ruang ooperasi untuk pemantauan ulang dan debridement jaringan
nonviable. Jika tidak ada jaringan nekrotik sisa, kulit ditutup secara
longgar. Jika penutupan lengkap tidak memungkinkan, kemudian metode assisted closure harus diterapkan.
Sebuah metode assisted closure populer untuk luka fasciotomi adalah negative pressure wound therapy (NPWT)
[40]. Balutan NPWT adalah sistem tertutup dimana vakum menggunakan tekanan
subatmosferik untuk luka melalui balutan foam berpori, mengurangi tekanan
ekstravaskular dan edema dalam kompartemen, sehingga muncul perbaikan
sirkulasi, granulasi, dan aproksimasi tepi luka, serta kolonisasi bakteri yang
berkurang [41]. NPWT mengurangi risiko infeksi tapi akan kemungkinan skin graft akan lebih tinggi [42].
Penutupan luka dinamis menggunakan teknik loop
vaskular atau teknik shoelace juga
telah dijelaskan sebagai pilihan pengelolaan yang layak (Gambar 8). Metode
ini memerlukan pendekatan tepi luka menggunakan loop vaskular yang ditahan
dengan skin staples dan secara
bertahap melakukan tensioning di tepi luka [43]. Metode
ini membantu untuk menghindari pencangkokan kulit.
Gambar 8: Dynamic wound closure menggunakan vessel loop atau teknik shoelace.
10.
Aspek Medikolegal
Terdapat aspek medikolegal yang signifikan
pada ACS dan keluarannya pada praktek klinis. Bhattacharyya dan Vrahas meninjau
semua kasus dan klaim terkait ACS yang diajukan ke perusahaan asuransi besar
selama periode 23-tahun. Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% diputuskan
melawan dokter [44]. Shadgan et al. melaporkan
lima puluh lima persen (35/64) kasus hukum diselesaikan diputuskan mendukung pasien
[45].
Reverte et al. menyebutkan insidensi yang
cukup tinggi untuk delayed union atau
nonunion pada fraktur tibial shaft dengan sindrom kompartemen. Mereka
melaporkan 55% nonunion atau delayed union pada ACS dibandingkan
17,8% pada fraktur tanpa ACS dalam studi meta-analisis. Sangatlah dianjurkan
untuk menginformasikan pasien tentang peningkatan kemungkinan komplikasi dalam penyembuhan
fraktur [46].
11.
Kesimpulan
ACS adalah salah satu dari sedikit keadaan
darurat ortopedi yang dapat menyebabkan keluaran yang memberi ancaman terhadap ekstremitas
dan kehidupan jika ada keterlambatan dalam diagnosis dan pengelolaan. Semua
dokter yang terlibat dalam menangani keadaan darurat tersebut harus sangat
waspada dan harus menerapkan ambang rendah untuk fasciotomi.
Konflik
Kepentingan
Para penulis menyatakan bahwa tidak ada
konflik kepentingan mengenai publikasi makalah ini.