Jumat, 19 September 2014

Snake Bite - Vulnus Morsum Serpentis



Latar Belakang
Kasus gigitan ular temasuk kasus kegawatan yang sering dijumpai di Unit Gawat Darurat terutama banyak dialami oleh negara di daerah tropis dan subtropis dimana pekerjaan utamanya adalah agrikultural.
Sebagai data perbandingan, diperkirakan sekitar 5 juta kasus gigitan ular terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Berdasarkan survey yang telah dilakukan terhadap 10% dari wilayah Bangladesh pada tahun 1988 sampai 1989 didapatkan 764 gigitan ular dengan 168 kematian dalam satu tahun. Di India didapatkan 200.000 gigitan per tahunnya dengan 15.000 sampai 20.000 kematian pertahunnya. Myanmar dilaporkan pada tahun 1991 didapatkan 14.000 pasien gigitan ular dengan 1.000 kematian.
Daerah di Indonesia yang mayoritas merupakan area persawahan, savanna, hutan, perkebunan, dan rawa merupakan habitat yang ideal untuk ular. Tidak ada data yang jelas tentang kasus gigitan ular di Indonesia karena kurangnya administrasi yang baik, hal ini juga disebabkan oleh karena kebanyakan korban gigitan ular hanya dirawat menggunakan obat tradisional. yang dibawa ke pengobatan tradisional bukan ke pelayanan medis. Data yang saat ini terkumpul, terhimpun data selama tahun 2007 didapatkan bahwa telah terjadi 12.739 kasus dan dua puluh kasus korban meninggal dunia karena gigitan ular berbisa.
Kesakitan dan kematian gigitan ular bergantung pada macam spesies, keadaan dapat mematikan (fatal) dan dosis kematian dari jumlah racun yang masuk tubuh. Gigitan ular dapat menyebabkan kematian maupun cacat kronis pada banyak populasi usia produktif terutama pada populasi di mana mereka terlibat aktif dalam pekerjaan bidang pertanian dan perkebunan. Gigitan ular dapat menjadi keadaan yang mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan benar. Korban dapat mengalami reaksi yang ekstrim terhadap racun (bisa ular) dan hanya dalam hitungan menit saja, dapat menyebabkan kematian.
Makalah ini dibuat untuk membuka wawasan pembaca bahwa kasus gigitan ular adalah kasus kegawatan yang dipengaruhi lingkungan, pekerjaan dan iklim baik di daerah pedesaan dan daerah perkotaan di banyak negara Asia Region Tenggara dan merupakan masalah medis yang memiliki implikasi penting untuk gizi dan ekonomi dari negara di mana kasus gigitan ular banyak terjadi yang memerlukan penanganan yang tepat dan komprehensif sehingga dapat meminimalisir tingkat kematian dan kecacatan pada setiap kasus gigitan ular.

Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a.       Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b.      Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c.       Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d.      Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi

Jenis ular dan identifikasi
Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular perlu dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari korban. Selain melalui taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuranular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
1.      Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini, misalnya ular pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah.
2.      Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang, ular anang dan ular cabai.

3.       Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya.  Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris), ular hijau dan ular bandotan puspo.






























4.       Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa kuat yang terdapat di Indonesia.
Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.


Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa

Tidak berbisa
Berbisa
Bentuk Kepala
Bulat
Elips, segitiga
Gigi Taring
Gigi Kecil
2 gigi taring besar
Bekas Gigitan
Lengkung seperti U
Terdiri dari 2 titik
Warna
Warna-warni
Gelap
Besar ular
Sangat bervariasi
Sedang
Pupil ular
bulat
elips
Ekor ular
Bersisik ganda
Bentuk sisik tunggal
Agresifitas
Mematuk berulang dan membelit  sampai tidak  berdaya
Mematuk 1 atau 2 kali

Bisa Ular
            Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.

Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis:
a.       Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku.
b.      Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
c.       Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A)  racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d.      Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e.       Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) – merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
f.       Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip  seperti paralisis kuraonium2
            Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.

Sifat Bisa Ular
            Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa ular dapat dibedakan menjadi:
a.       Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b.      Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
c.       Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
            Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.


            Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
            Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.

Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular
A.    Gigitan Elapidae
  1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
  2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
  3. Setelah digigit ular
a.       15 menit : muncul gejala sistemik
b.      10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
 
B.     Gigitan Viporidae/Crotalidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah namun menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek lokal yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan kecenderungan perdarahan sistemik.
  1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
  2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
  3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.


C.     Gigitan Hydropiridae
  1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
  2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.
Diagnosa
A.    Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.  
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?                                       
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?       
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular  tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda bekas gigitas oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
  1. Tanda gigitan taring (fang marks)
  2. Nyeri lokal
  3. Perdarahan lokal
  4. Kemerahan
  5. Limfangitis
  6. Pembesaran kelenjar limfe
  7. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
  8. Melepuh
  9. Infeksi lokal, terbentuk abses
  10. Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik2 :
a.       Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b.      Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema konjunctiva (chemosis)
c.       Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina.




d.      Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e.       Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f.       Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
g.      Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism


Penatatalaksanaan  
1       1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Hal-hal yang harus dilakukan antara lain :
a.       Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b.      Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan kain (untuk memperlambat  penyerapan racun)
c.       Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang menyebabkan nekrosis
d.      Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi, kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e.        Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di proksimal lesi)
f.       Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3

2    2.  Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a.       Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
b.      Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c.       Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu terjadinya gigitan dan  jenis ular
d.      Lakukan pemeriksaan fisik :
-          Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
-          Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen sindrom)
-          Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva, perdarahan di tempat gigitan)
-          Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
-          Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
-          Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e.       Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f.       Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika merupakan indikasi
g.      Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah jenis ular yang tidak berbisa)
3    3. Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom. Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a.       Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan trombositopeni (<100000)
b.      Neurotoksisitas
c.       Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d.      Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e.       Gagal ginjal akut
f.       Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau bengkak yang membesar dengan cepat
g.      Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri

Pilihan Anti Venom:
a.       Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik (monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b.      Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan untuk memperkirakan jenis ular :
-          Pembengkakan local dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae
-          Pembengkakan local yang ekstensif dengan perdarahan  = ular tanah/ viperidae
c.       Anti venom polivalen jika belum jelas

Dosis Dan Cara Pemberian
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a.       Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b.      Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c.       Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang direkomendasikan belum habis
d.      Jangan lakukan uji sensitivitas
e.       Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f.       Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika terjadi reaksi alergi
g.      Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

Reaksi Anti Venom
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi :
a.       Reaksi anafilaktik tipe cepat
-          Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
-          Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema laring
-          Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2 mg/kg), dan cairan resusitasi
-          Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b.      Reaksi pirogenik
-          Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti venom
-          Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
-          Tatalaksana seperti pada kasus diatas
-          Bila demam dapat diberikan parasetamol
c.       Reaksi tipe lambat
-          Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
-          Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
-          Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 5 dosis
-          Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari

4.      Terapi Suportif

a.       Bersihkan luka dengan antiseptic
b.      Analgesic
c.       Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d.      Pemberian Anti Tetanus
e.       Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal dingin, dan paresis
f.       Buang jaringan nekrosis
g.      Atasi keadaan gagal ginjal akut

 Kesalahan  Dalam Penatalaksanaan

a.       Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular
Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien dimana manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
b.      Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
c.       Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
d.      Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak
Dosis berdasarkan jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat badan
e.       Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin 
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular, karena gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.


Monitoring
·         Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan.
·         Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
·         Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
·         Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen

DAFTAR PUSTAKA

1)      De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa.
2)      Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
3)      Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com.
4)         Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
5)      Emedicine Health. 2005. Snakebite. available  from : http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
6)         Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
7)      Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
8)         Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218
9)         SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
10)     Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id (diakses pada 30 Maret 2012)
11)  Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
12)  Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From Gulu Regional Hospital Uganda.
13)  Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand.
14)  Warrell,D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi:10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.
15)     WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia Region.