Kamis, 02 Juni 2011

SINDROM KORONER AKUT (SKA)


Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan pada pembuluh darah koroner yaitu suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard Akut/ IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil. Sindrom Koroner Akut (SKA) tersebut merupakan suatu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan ditandai dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat dari iskemia miokardium.
















Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic.
Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksida (NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark.
Disrupsi plak dapat terjadi karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik.
Adapun mulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni :
a. aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan),
b.stress emosi, terkejut,
c. udara dingin.
d.                        Keadaan-keadaan tersebut berhubungan dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat.
Sehingga dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi.

Etiologi
1.      Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard oleh karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang rupture dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada banyak pasien.
2.      Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat adanya disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
3.      Obstruksi mekanik yang progresif
 Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensikoroner perkutan (PCI).
4.      Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan  infeksi,  yang  mungkin  menyebabkan  penyempitan  arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti metaloproteinase, yang dapat  mengakibatkan  penipisan  dan  ruptur  plak,  sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.
5.      Faktor atau keadaan pencetus
Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab dapat berupa penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang kronik.
SKA jenis ini antara lain karena :
a)      Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan tirotoksikosiso Berkurangnya aliran darah koroner,
b)      berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan banyakterjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai lebihdari satu penyebab dan saling terkait.







Sindrom Koroner Akut 300x240 Gejala, Penyebab & Faktor Resiko Sindrom Koroner Akut
Faktor resiko
Faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner dibagi dua yaitu faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan factor resiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
1.      Hipertensi
2.      Diabetes
3.      Hiperkolesterolemia
4.      Merokok
5.      Kurang latihan
6.      Diit dengan kadar lemak tinggi
7.      Obesitas
8.      Stress

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:
1.      Riwayat PJK dalam keluarga
2.      Usia di atas 45 tahun
3.      Jenis kelamin laki-laki > perempuan
4.      Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK


Klasifikasi

Berdasarkan Jenisnya, Sindroma Koroner Akut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Jenis
Penjelasan nyeri dada
Temuan EKG
Enzim Jantung
Angina Pectoris Tidak Stabil (APTS)
Angina pada waktu istirahat/ aktivitas ringan, Crescendo angina, Hilang dengan nitrat.
·  Depresi segmen T
·  Inversi gelombang T
·  Tidak ada gelombang Q
Tidak meningkat
NonST elevasi Miocard Infark
Lebih berat dan lama (> 30 menit), Tidak hilang dengan pemberian nitrat. Perlu opium untuk menghilangkan nyeri.
·  Depresi segmen ST
·  Inversi gelombang T
Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
ST elevasi Miocard Infark
Lebih berat dan lama (> 30 menit), Tidak hilang dengan pemberian nitrat. Perlu opium untuk menghilangkan nyeri.
·  Hiperakut T
·  Elevasi segmen T
·  Gelombang Q
·  Inversi gelombang T

Meningkat minimal 2 kali nilai batas atas normal
Berdasarkan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA) menurut  Braunwald (1993) adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b.Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

Diagnosis
Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat dan tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu:
·   Gejala klinis nyeri dada spesifik
·   Gambaran EKG (elektrokardiogram)
·   Evaluasi biokimia dari enzim jantung.

1. ANAMNESA
Dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti berikut ini:
   Apakah ada riwayat PJKA sebelumnya?
   Singkirkan faktor risiko komorbid, seperti merokok, diabetes, hipertensi, dislipidemia atau riwayat PJK di keluarga
   Apakah nyeri dada dirasakan seperti menusuk atau menekan (curigaangina)?
   Apakah nyeri (kearah angina) menjalar ke bagian tubuh lain?
   Adakah nyeri saat istirahat dan apakah terus menerus (> 20 menit)?
   Pada pasien PJK, apakah nyeri menghilang dengan pemakian nitratsublingual?

Keluhan nyeri dada harus diperjelas dengan melakukan anamnesa sifat nyeri dada yaitu
a. Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
b.Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
d.                   Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas. Gejalayang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, penderitadiabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel  dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

2.   PEMERIKSAAN FISIK 
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari APTS/NSTEMI.
Hipertensi  tak  terkontrol,  anemia,  tirotoksikosis,  stenosis  aorta  berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru.
Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk.
Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK).

3.   ELEKTROKARDIOGRAFI
Perubahan EKG cukup spesifik, tetapi tidak peka untuk diagnosis IMA pada fase yang masih dini. Berdasarkan kelainan EKG IMA dibagi atas 2 yaitu :
a.    IMA dengan gelombang Q.
Mula-mula terjadi elevasi  segmen ST yang konveks pada hantaran yang mencerminkan daerah IMA. Kadang baru terjadi beberapa jam setelah serangan. Depresi segmen ST yang resiprokal terjadi pada hantaran yang berlawanan.
Diikuti  terbentuknya  gelombang  Q  patologis  yang menunjukkan IMA transmural (terjadi 24 jam pertama IMA)
Setelah  elevasi  segmen  ST  berkurang,  gelombang  T terbalik (inversi). Keduanya dapat menjadi normal setelah beberapa hari atau minggu.
b.      IMA non gelombang Q
Tidak  ada  Q  patologis,  hanya  dijumpai  depresi segmen ST dan inversi simetrik gelombang T
Berdasarkan ditemukannya kelainan EKG, dapat diprediksi lokasi infark myocard.
LOKASI INFARK Q
WAVE / ELEVASI ST
A. KORONER

Anteroseptal

V1 dan V2
LAD
Anterior V3 dan V4 LAD
Lateral V5 dan V6 LCX
Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX
High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX
Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL
Inferior II, III, dan a VF PDA
Right ventrikel V2R – V4R RCA
* Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 – V2 sebagi mirror image dari perubahan sedapan V7 – V9
LAD    = Left Anterior Descending artery
LCX    = Left Circumflex
RCA    = Right Coronary Artery
PL       = PosteriorDescending Artery

4.      LABORATORIUM
a.       CK (Kreatinin Fosfokinase)
Pada IMA konsentrasi dalam serum meningkat 6-8 jam setelah onset infark, mencapai puncak setelah 24 jam dan turun kembali dalam waktu 3-4 hari. Enzim ini juga banyak terdapat pada paru, otot skelet, otak, uterus, sel, pencernaan dan kelenjar tiroid. Selain pada infark miokard, tingkat abnormalitas tinggi terdapat pada penyakit otot, kerusakan cerebrovaskular dan setelah latihan otot.
  1. SGOT (Serum Glutamic Oxalo-acetic Transaminase)
Terdapat terutama di jantung, otot skelet, otak, hati dan ginjal. Dilepaskan oleh sel otot  miokard yang rusak atau mati. Meningkat dalam 8-36 jam dan turun kembali menjadi normal setelah 3-4 hari.
  1. LDH (Lactat Dehidrogenase)
Enzim ini terdapat di jantung dan eritrosit dan tidak spesifik. Dapat meninggi bila ada kerusakan jaringan tubuh. Pada IMA konsentrasi meningkat dalam waktu 24-48 jam, mencapai puncaknya dalam 3-6 hari dan bisa tetap abnormal 1-3 minggu. Isoenzimnya lebih spesifik.
Sebagai indikator nekrosis miokard dapat juga dipakai troponin T, suatu kompleks protein yang terdapat pada filamen tipis otot jantung. Troponin T akan terdeteksi dalam darah beberapa jam sampai dengan 14 hari setelah nekrosis miokard.

5.      RADIOLOGI

Pemeriksaan radiologi tidak banyak menolong untuk menegakan diagnosis infark miokard akut. Walau demikian akan berguna bila ditemukan adanya bendungan pada paru (gagal jantung). Kadang-kadang dapat dilihat adanya kardiomegali.

Penatalaksanaan
Prinsip umum :
   mengembalikan aliran darah koroner dengan trombolitik/ PTCA primer untuk menyelamatkan oto jantung dari infark miokard
   Membatasi luasnya infark miokard
   Mempertahankan fungsi jantung
   memperlambat atau menghentikan progresifitas penyakit
   Memperbaiki kualitas hidup dengan mengurangi frekuensi serangan angina
   Mengurangi atau mencegah infark miokard dan kematian mendadak.

A.    Terapi Awal
Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a. pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
b.periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT
c. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat memperbaiki kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara kanul hidung.
d.               Nitrogliserin (NTG): Kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
e. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan. Dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg iv
f. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial. Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah.
g.Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III.  Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).

B.     Terapi lanjutan (Reperfusi) : dilakukan oleh yang berkompeten dan dalam pengawasan ketat di ICU
a. Trombolitik
Penelitian menunjukan bahwa secara garis besar semua obat trombolitik bermanfaat. Trombolitik awal (kurang dari 6 jam) dengan strptokinase atau tissue Plasminogen Activator (t-PA) telah terbukti secara bermakna menghambat perluasan infark, menurunkan mortalitas dan memperbaiki fungsi ventrikel kiri.
Indikasi :
-          Umur < 70 tahun
-          Nyeri dada khas infark, lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat.
-          Elevasi ST lebih dari 1 mm sekurang-kurangnya pada 2 sadapan EKG
Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis yaitu streptokinase, urokinase, aktivator plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan anisolated plasminogen activator complex (ASPAC). Yang terdapat di Indonesia hanya streptokinase dan r-TPA. R-TPA ini bekerja lebih spesifik pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih pendek.
Kontraindikasi :
-    Perdarahan aktif organ dalam
-    Perkiraan diseksi aorta
-    Resusitasi kardio pulmonal yang berkepanjangan dan traumatik
-    Trauma kepala yang baru atau adanya neoplasma intrakranial
-    Diabetic hemorrhage retinopathy
-    Kehamilan
-    TD > 200/120 mmHg
-    Telah mendapat streptokinase dalam jangka waktu 12 bulan

b.   Antikoagulan dan antiplatelet
Beberapa hari setelah serangan IMA, terdapat peningkatan resiko untuk terjadi tromboemboli dan reinfark sehingga perlu diberikan obat-obatan pencegah. Heparin dan Aspirin referfusion trias menunjukkan bahwa heparin (intravena) diberikan segera setelah trombolitik dapat mempertahankan potensi dari arteri yang berhubungan dengan infark.
Pada infus intravena untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit dilarutkan dalam 1 liter larutan glukosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat efek, dianjurkan menambahkan 500 unit intravena langsung sebelumnya. Kecepatan infus berdasarkan pada nilai APTT (Activated Partial Thromboplastin Time). Komplikasi perdarahan umumnya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian secara intermiten.

Mencegah Komplikasi
Usaha penanggulangan yang telah diuraikan di atas sebenarnya juga merupakan usaha pencegahan terhadap komplikasi. Komplikasi yang paling sering pada hari-hari pertama IMA ialah aritmia dan gagal jantung. Komplikasi yang lain adalah shock cardiogenic, ruptur atau dinding ventrikel, perikarditis, myocard stunning, dan thromboemboli.

Daftar Pustaka
1.McGraw Hill. Harrisons Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed. Philadelphia, 2000, 1387–97.
2.Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54
3.Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004
4.IPD Diagnosis dan Terapi. Prof. Dr. A Halim-Mubin, SpPD, MSc, KPTI
5.H.A. WASID. Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut. 2003. SMF Kardiovaskular RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Purwokerto